Connesso

Cano
Chapter #18

Chapter 18 - MIA'S POV

Untuk sementara waktu, aku berusaha untuk tidak membuka media sosial setelah perdebatanku dengan Marcello tadi siang. Jujur saja aku nyaris menangis saat pria gila itu ingin menemui Benjamin.

Aku tidak pernah lelah merutuki diri sendiri. Mengapa ini semua menimpaku? Apa dosaku? Siapa yang kurugikan? ... tidak ada. Lalu kenapa masalahku terkesan begitu berat untuk orang lain? Padahal aku hanya ingin hidup tenang dengan Rogero, tanpa ada pria mana pun, begitulah kiranya ocehan yang ingin kulontarkan ke ruang publik.

Aku pun tidak sepenuhnya menyalahkan Marcello. Seandainya orang lain tidak menarik namanya, ini tidak akan pernah terjadi. Hal yang membuatku membencinya adalah klaimnya yang sembrono, hanya karena aku adalah mantannya.

Malam ini, tepatnya pukul 8, aku akan pergi menemui seseorang setelah beberapa jam selesai memompa asi untuk Rogero. Kutatap standing mirror, lebih tepatnya menatap pantulan diriku sendiri.

Bila dipikir-pikir, ini adalah adalah penampilanku yang paling rapi setelah melahirkan. Kali ini, rambut bergelombangku ini kugerai tanpa diikat, mengenakan celana dan sweater hitam yang dibalut blazer abu-abu.

"Mia, kau mau ke mana sudah cantik dan wangi begini?" Tanya Ibuku, tiba-tiba masuk ke kamar yang beberapa jam lalu telah tiba dari Turkiye.

"Aku mau mengaudit restoran saja, tidak apa-apa, kan? Aku titip Rogero, asinya ada di kulkas," kataku ramah. Jujur saja aku rindu ingin bercerita banyak hal dengan ibu, tapi malam ini aku harus menemui Benjamin yang katanya pria itu sudah tiba dua hari yang lalu di Verona.

Tidak ada jawaban yang aneh. Ibu pun tidak protes. Aku segera berangkat setelah menciumi pipi Rogero yang harumnya akan selalu kurindukan.

Aku menarik napas dalam-dalam setelah menyalakan mobil. Sambil berkendara aku memikirkan semuanya—masih tidak percaya akan bertemu dengan Benjamin yang selama ini telah menyamar menjadi Bennet. Aku benar-benar merasa telah ditipu olehnya.

Kenapa dia tidak mengatakannya sejak awal?

Kenapa dia harus muncul saat keadaanku sedang lemah?

Kenapa dia berani mengotori riwayat kehidupan Rogero?

Lantas bagaimana perasaan ini?

Aku masih ingat betul bagaimana wajahnya, bagaimana senyumnya, bagaimana suaranya, bagaimana pesan chat pertamanya, itu semua sangat menyenangkan hatiku. Tapi kenapa?

Jadi selama ini dia benar-benar bohong, dia hanya mengincar Rogero, batinku benar-benar membuka mode pertahanan sepenuhnya dan sangat kecewa.

Seharusnya sejak awal aku tidak memilih sel biologisnya! Runtuku.

"Aah ... tidak. Maafkan aku, Rogero. Aku tidak menyesal," gumamku seolah Rogero yang sedang di rumah mempertanyakan kelahirannya.

Kini mobilku berhenti di depan sebuah kafe pinggir jalan. Tidak lupa, sebelum keluar aku mengecek ponselku terlebih dahulu, dan benar saja, Benjamin mengirimku pesan.


Benjamin:

Lihat selengkapnya