"Kamu terasa jauh hari ini," kata Alex, mencoba memecah keheningan. "Ada yang ingin kamu katakan?"
Matahari terbenam menciptakan panorama warna oranye dan merah di langit, menyinari pantai yang tenang. Rambut gelap Alex sedikit acak-acakan oleh angin. Kaus oblong sederhananya yang berwarna abu-abu itu berkibar-kibar seiring tarian udara, berpadu dengan celana pendek kanvas dan sandal jepit, sangat mewakili jiwanya yang santai. Postur tinggi langsing berbalut kulit yang sedikit terbakar sinar surya itu berjalan beriringan dengan seorang bidadari yang sedikit lebih pendek darinya.
Perempuan bertubuh tegap dan ramping bernama Vanya itu melangkah tenang menuju bibir pantai dalam balutan gaun berwarna pastel yang mengalir lembut hingga ke lutut. Telapak kaki beralaskan sandal kulit berwarna krem dengan hiasan ikatan yang simpel. Rambutnya yang panjang dan hitam dibiarkan tergerai, seolah-olah pertahanan tambahan untuk melindungi kulitnya agar tetap putih bersih. Sedikit sentuhan riasan alami menambah kecantikannya yang elegan.
Bersama di pantai, mereka seperti dua dunia yang bertabrakan - Alex dengan semangat bebas dan tidak terikatnya, dan Vanya dengan keanggunan serta kebutuhannya akan kepastian. Perbedaan ini, yang dulu memikat satu sama lain, kini semakin hari terasa seperti gunting yang siap memotong dalam lipatan.
Sekilas, Alex bisa menangkap kedua manik mata berwarna coklat gelap itu menyorot tajam di bawah lindungan kelopak kecil dengan ujung meruncing. Alis tebal nan rapi dan bulu mata panjangnya menambah intensitas tatapan Vanya, menunjukkan kedalaman pemikiran dan keputusan yang telah dia pertimbangkan dengan matang, yang masih menjadi teka-teki di benak Alex.
Vanya memilih duduk di pasir yang terasa begitu hangat, Alex mengikutinya. Sejenak, mereka berusaha menikmati ombak lembut menghampiri pantai. Pantai ini, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama, menikmati keindahan alam dan berbagi cerita, kini menjadi saksi bisu dari momen yang tidak biasa dari hubungan mereka.
Suar ombak yang menenangkan tidak mampu menghilangkan ketegangan yang menggantung di udara. Alex tidak sanggup menahan kegundahannya melihat cara Vanya memandang horison dan kesunyian yang sedari tadi tercipta.
Vanya menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. "Alex, kita perlu bicara," ucap gadis itu dengan nada serius, dan berat. "Tentang kita."
Alex merasakan denyut jantungnya meningkat. "Kenapa dengan kita?"
Vanya menoleh. Matanya bergerak-gerak cepat, seperti mencari kata-kata yang tepat. "Kupikir ... mungkin sudah saatnya kita menjalani masa depan kita … secara terpisah."
"Terpisah?" Alex tergagap, tak percaya. "Kamu ... kamu ingin putus?"
Mata Alex yang biasanya penuh dengan kehangatan dan rasa ingin tahu, kini terlihat redup dan penuh kebingungan. Bibirnya, yang sering terukir senyum atau tawa, kini tertekuk ke bawah oleh kesedihan.