Contented

Farida Zulkaidah Pane
Chapter #2

Reboot

Ruang istirahat ini hanyalah sebuah ruangan fungsional yang sederhana, Sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela besar yang memberinya cukup penerangan tanpa bantuan lampu, menyebarkan sinar hangat yang menari di lantai berlapis ubin putih belak. Bias cahaya tersebut menciptakan pola yang bergerak perlahan, menambahkan semangat ke antero ruangan.

Di satu sisi ruangan, terdapat area minuman yang dilengkapi dengan mesin kopi, mesin teh, dan dispenser air yang selalu tersedia bagi karyawan. Ada juga lemari es kecil di mana karyawan dapat menyimpan makanan dan minuman mereka.

Di atas meja yang agak tinggi, terdapat rak yang menyimpan gelas, cangkir, dan perlengkapan makan lainnya, tersusun rapi dan mudah dijangkau. Di samping itu, beberapa fasilitas seperti microwave dan toaster tersedia untuk memanaskan atau membuat makanan ringan.

Ruang istirahat ini juga dihiasi dengan tanaman hijau di sudut-sudut ruangan, menambahkan sentuhan alami yang menyegarkan. Di dinding bercat warna krem lembut, tergantung beberapa bingkai foto yang menampilkan pemandangan lokal dan momen-momen istimewa dari kegiatan kantor.

Beberapa kursi santai diletakkan di dekat jendela, tempat karyawan bisa bersantai atau membaca buku dari rak buku kecil yang tersedia di sampingnya. Meski area santai ini menjadi tempat populer bagi karyawan yang ingin melepaskan penat dengan tenang, tetap saja area tengah ruangan menjadi pusat kegiatan.

Di sana, terdapat meja panjang dari kayu yang dilapisi melamin untuk kemudahan pembersihan dan ketahanan terhadap tumpahan. Meja ini dikelilingi kursi-kursi yang terbuat dari plastik keras dengan bantalan dudukan tipis yang nyaman. Furnitur yang dipilih untuk mudah diatur ulang dan dibersihkan, sesuai kebutuhan ruang yang sering berubah-ubah mengikuti kegiatan kantor.

Gemuruh suara para karyawan yang berbicara dan tertawa berasal dari situ. Sahut-sahutan tegur sapa dan tawa ditingkahi gemericik air dan bunyi mesin kopi yang tetap setia menyediakan kafein, walaupun kondisinya sejak lama sudah perlu diganti.

Semuanya terasa hangat mengisi ruangan, tetapi tidak bagi Alex. Sudah seminggu ini dia memilih duduk agak terpisah, menyesap kopi dengan pandangan kosong. Melihat keadaannya, beberapa teman memutuskan mendekati dan mencoba menghibur.

Lano, anak Informatika yang selalu gigih mencari cara untuk membuat orang tertawa, duduk di samping Alex dengan senyum lebar, berharap setidaknya bisa membuat Alex tertular ikut tersenyum.

“He, Lex! Lo tahu kenapa kopi di sini selalu sedih? Karena, dia selalu di-‘seduh’!” cetus pria berdarah blasteran Indonesia-Italia dengan kulit cokelat keemas an itu penuh percaya diri.

Mau tak mau, Alex melengkungkan senyum tipis. “Yang ini garing banget sih, Lan,” komentarnya.

Sarah, yang duduk di sisi lain Alex sambil membawa sepiring kue kecil, ikut menyela. “Ayolah, Lex! Itu lucu, dong? Kamu kan, yang biasanya pertama ketawa sama kegaringannya Lano?” bujuk gadis ramping dengan tinggi 170 cm itu. “Kalau enggak, kamu makan kue buatan Bu Linda ini aja, deh. Jauh lebih gurih dari guyonannya Lano. Ayo, ambil satu!”

Alex mengambil satu kue sambil mengembangkan senyum yang terlihat lebih tulus.

“Tapi, serius, Lex, kita berdua paham ini sulit,” ujar Lano meyakinkan dengan kedua alis tebalnya yang hampir bertemu. “Kita cuma pengen lo tahu kalau kita ada di sini buat lo. Enggak peduli lo cuma butuh temen ngobrol, kek, atau pengen cuekin kita, kek, atau … masih perlu tambahan kegaringan dalam hidup lo, gue punya banyak di gudang! Siap tampil setiap saat!”

Lihat selengkapnya