Sisa jam kerja berikutnya dilalui Alex dengan sangat gelisah. Layar komputernya menunjukkan jendela surel dan Word yang berisi laporan. Namun, dia terlihat terdistraksi. Pikirannya jelas di tempat lain.
Sesekali, Alex mengeluarkan ponsel untuk mencari inspirasi tentang konservasi kota dan ide-ide desain poster. Usai mengetik beberapa kata di komputer, Alex kembali menunduk ke arah tablet di meja untuk menggambar garis-garis yang ternyata tampak tidak rata dan kasar.
Alex mulai menyadari batasan yang dihadapi peralatannya. Tablet itu menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Gawai elektronik yang dulu sangat membantunya mengusir jenuh, kini terasa terlalu kuno untuk dibawa beraktivitas secara profesional. Responsivitasnya menurun, dan perangkat lunak yang terpasang tidak lagi mendukung fitur-fitur terbaru yang dibutuhkan untuk mendesain dengan teknik yang dia inginkan.
Saat hendak menyimpan gambar awal ala kadarnya, ternyata memorinya sudah penuh. Alex terpaksa memindahkan beberapa berkas ke diska lepas. Setelah berhasil menyimpan, Alex mencurigai sesuatu.
Dia mencoba membuka hasil gambar sederhananya melalui komputer. Namun, dia kecewa dengan warna yang tampak berbeda dari tablet. Alex kemudian mencetak gambar itu. Benar saja. Warna hasil cetakan lebih mirip dengan yang ditampilkan di layar komputer daripada tabletnya.
Baru saja hendak mencari solusi, tablet Alex tiba-tiba mati. Buru-buru pemiliknya mengisi ulang baterai sambil terus memaksa membuka tablet dan mengunduh aplikasi baru. Sayang, ternyata aplikasi itu membutuhkan sumber daya yang besar. Sehingga, tablet tersebut malah terhenti saat mengolah grafis yang lebih kompleks.
Berkali-kali Alex mengacak rambut, membuat Sarah yang duduk di meja sebelahnya menoleh heran. “Lex, lo kenapa, sih? Lagi ngelawan naga?” tanya gadis itu akhirnya setelah pekerjaannya bolak-balik terganggu oleh tingkah Alex.
Alex menghela napas berat, “Aku frustrasi sama tablet ini, Sar. Lemot banget, software-nya sering crash. Aku tuh padahal cuma pengen nyelesaiin draf kasar buat lomba poster aja, tapi … rasanya kok kaya aku lagi menggambar pakai sumpit di jempol kaki, ya? Ribet!”
Sarah menurunkan kedua telapak tangannya dari atas papan kunci komputer dan menghadapkan seluruh tubuhnya ke Alex. “Kayanya serius banget. Separah itu, ya?”
“Ya, gimana, dong? Produk keluaran lima tahun lalu, mana aku dapatnya bekas lagi. Kudet banget buat diajak lomba, Sar,” sungut Alex.
Sarah mengetuk-ngetuk bibir penuhnya yang sedikit manyun sambil berkata hati-hati, “Kamu udah mempertimbangkan buat upgrade, belum? Laptop baru, mungkin? Yang lebih gede memorinya, dayanya, responnya ….”