Continuity

Mutia Rahmadyanti
Chapter #1

Prolog

Sepasang mata yang sedari tadi terjaga sembari memainkan benda yang terlilit di pergelangan tangan kiri nya, berwarna silver dengan bandul matahari yang menggantung disana. Senyuman terukir di wajah mungilnya, hanya senyum tipis yang tidak seorang pun dapat melihatnya. Hanya hati nya yang dapat merasa. Jika diperhatikan lebih dalam, justru mata nya yang sangat berperan disini. Menyiratkan kehangatan, kebahagiaan, juga kesepian dalam waktu yang bersamaan. Memandang lurus pada perpaduan warna indah sang pencipta. Atensinya tidak bergerak sedikit pun dari sana, seperti ada sesuatu yang jauh lebih menarik dari sekitarnya atau bahkan lebih menarik dari dirinya sendiri.

Langit berwarna jingga itu seketika berubah menjadi perpaduan yang mungkin jika di gambar di sebuah kertas akan terasa aneh. Cerah nya jingga bertabrakan dengan kelam nya abu-abu yang datang tanpa permisi, memaksa jingga menyingkir dan pergi. Meninggalkan semburat warna oranye yang tersisa di tengahnya, seakan tidak bersedia pergi dan tetap ingin tinggal untuk menyapa para penikmat senja.

Senyum tipis yang hampir tidak terlihat itu seketika lenyap, berganti menjadi semburat kekecewaan yang perlahan terkuak dari matanya. Hal yang  paling tidak ia sukai harus datang, tidak bisakah ia merasa hatinya hangat hanya untuk satu hari saja. Ia merindukan saat dimana dirinya tidak peduli akan suasana langit. Bukan tidak menyukai, justru apapun keadaannya ia menyukai dan sangat menikmatinya. Karena ia merasa diri nya utuh, saat itu.

Mata itu menerawang lurus nan jauh, membuka pintu-pintu yang tertutup rapat bahkan dirinya sendiri lah yang mengunci dan menyimpan kunci itu. Tidak berniat untuk membuangnya, karena ia masih ingin menyimpannya.

Kedua benda bulat itu mulai menelusup masuk membuka satu persatu pintu yang terasa usang. Pintu pertama, dilihatnya sebuah boneka teddy bear dengan gaun coklat bermotif bunga lily terpajang di atas meja dihadapannya, seakan melihat ke arah dua benda bulat yang tidak teralihkan sedetik pun. Saat ingin menggapai boneka tersebut, terdapat sepasang tangan yang terlebih dahulu mengambil dan merengkuh teddy bear itu. Anak perempuan mungil dengan rambut hitam pekat nya yang dikepang satu dan gaun biru laut menambah kesan imut nan ceria untuknya. Anak itu berlari menuju sebuah pekarangan yang cukup luas dengan beberapa tanaman berbagai warna disana. Tidak lupa terdapat sebuah ayunan panjang ditengan pekarangan tersebut, menambah kesan nyaman bagi setiap orang yang memilikinya. Anak mungil itu berlari menuju seseorang perempuan dengan rambut sebahu yang sedang berjongkok membelakangi nya, seperti sedang merawat sesuatu yang terdapat di pekarangan itu. Perempuan itu perlahan membalikkan sedikit badannya untuk melihat siapa yang menabrak punggungnya begitu saja. Ia tidak marah, justru ia memeluk pinggang Anak mungil itu dengan tangan kirinya dan memberi satu kecupan singkat di puncak kepala anak itu. Cukup lama mereka berbincang dengan posisi seperti itu, lalu perempuan itu menggandeng tangan si anak menuju ayunan disana. Meletakkan boneka teddy bear yang sedari tadi di genggam dan mendudukkannya pada ayunan tersebut. Tidak lama datang seorang anak perempuan lain yang sedikit lebih tinggi dengan gaun cream berlari ke arah mereka, tapi ia tidak sendiri sesosok lelaki yang menjadi satu-satunya disana mengekori gadis itu dari belakang. Mereka saling merengkuh satu sama lain dengan senyum bahagia yang terpancar di dalamnya.

Tiba-tiba pintu pertama tertutup, menampilkan pintu kedua yang sudah terbuka dengan sendirinya. Mata itu perlahan mulai memasuki ruangan tersebut. Tidak, pintu itu tidak menuju ke sebuah ruangan. Hamparan air berwarna biru terang terbentang luas di hadapannya. Matahari bersinar terang tepat pada tempatnya menambah hangat nya hari itu. Gadis mungil itu terlihat lagi, ia berjalan tanpa alas kaki diatas tumpukan pasir yang sedikit basah. Senyum ceria nya terpatri jelas di wajah nya. Saat sedang menikmati kegiatannya, percikan air dari arah depannya membuat wajah ceria nya berubah dan kedua tangan mungilnya berusaha menutupi wajahnya dari percikan air yang mengenai mata indahnya. Suara gelak tawa seorang gadis terdengar, seketika gadis mungil itu mulai membalas perlakuan seorang dihadapannya. Kegiatan mereka harus terhenti saat dua pasang manusia menghampiri mereka dan memeluk mereka bersamaan. Perempuan dengan rambut sebahu mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah maroon, terlihat dua benda yang sangat cantik terdapat didalamnya. Gadis mungil itu mendapat sebuah kalung berbandul matahari, dan seorang gadis lain mendapat sebuah gelang dengan bandul yang sama. Mereka terlihat sangat bahagia.

Pemandangan yang terlihat hangat dan ceria berubah menjadi gelap, terdengar suara pintu tertutup. Terdapat pintu lainnya, Di dorongnya pintu itu perlahan, pintu itu sangat berat untuk dibuka seperti ada yang mengganjal didalamnya. Tidak seperti pintu sebelumnya yang menampilkan suasana cerah, pintu ini berisi suasana gelap gulita dengan tetesan air yang jatuh dari langit. Perlahan kedua mata itu menelusuri setiap sudut yang ada. Mata itu menemukan seorang gadis remaja dengan kalung matahari terduduk didalam sebuah benda yang terlihat gelap itu, kepala nya bersandar pada jendela kaca disamping kirinya dan terlihat cairan merah pekat mengalir di pelipisnya. Lebih mengenaskan, dua manusia paruh baya yang duduk dibagian depan kendaraan tersebut. Keadaan sudah tidak memungkinkan mereka dapat terselamatkan. Terdengar suara tangisan yang menggebu ditengah kesunyian malam itu, gadis yang terlihat lebih muda berlutut dengan wajah memerah dan nafas tersengal. Ia menatap nanar apa yang terjadi dihadapannya saat itu, kebahagiaan yang ia rasakan beberapa saat lalu sudah berganti kepiluan luar biasa. Tanpa ia ketahui, kenyataan pahit menunggunya jika ia tidak dapat mengatasinya dengan baik.

Pintu terakhir tertutup, tidak ada lagi pintu selanjutnya. Kedua bola mata itu tersadar dari lamunan singkatnya. Tak terasa, wajahnya sudah terbasahi oleh cairan bening yang mengalir dari kedua mata nya. Sama seperti bumi yang kala petang itu sudah sepenuhnya basah terguyur hujan yang sangat deras seakan membawa kembali kenangan pahit beberapa tahun lalu yang berusaha ditutupi. Ia benci saat seperti ini, walaupun hanya dirinya yang tahu tapi itu menunjukkan bahwa dirinya sangat lemah. Ia membutuhkan tempat sandaran yang sesungguhnya.

Di sentuhnya kalung berbandul matahari dan gelang dengan bandul yang sama secara bergantian. Selama ini orang disekitarnya selalu menganggap aneh dirinya, memakai kalung dan gelang dengan model yang sama persis. Tidakkah itu terlihat norak? Tidak bagi gadis berusia 23 tahun itu, baginya dua benda itu harus selalu ia kenakan kapanpun dan tidak akan pernah dilepas. Benda itu yang menemani nya berjuang sendiri melawan kesunyian yang ada, walaupun ia tidak benar-benar sendiri. Tapi bukankah sebuah keluarga utuh yang ia butuhkan saat ini? Seorang ibu, seorang ayah, dan seorang kakak yang akan selalu bersamanya setiap saat. Menemani ibu nya bercocok tanam di pekarangan belakang rumah. Menemani ayahnya berolahraga setiap hari libur. Menemani kakaknya menonton film kesukaan mereka dan berakhir memperebutkan tokoh mana yang menyita perhatian mereka masing-masing. Ia sangat rindu, dan sangat menginginkan suasana itu.

Ia menyeka air mata nya yang hampir membasahi seluruh wajahnya itu, menatap nanar ke arah hujan yang merubah suasana hatinya dalam sekejap. “Kenapa kalian harus selalu datang?Tidak bisakah aku hidup tanpa kehadiranmu?” Ucapnya entah pada siapa, selain meracau sendiri pada sekelompok air yang turun ke bumi itu. “Kalian tahu? Setiap kalian hadir aku seperti terbawa oleh kejadian yang membawa diriku pada penyesalan dan kemudian berakhir menangisi itu” Air mata nya kembali menggenang seakan siap terjun bebas bersama derasnya hujan. “Aku... hanya ingin berhenti menangisi keadaan. Bagaimanapun aku harus tetap menjalani hidup. Aku... aku... sudah berjanji pada mereka” Seakan tidak mengenyahkan perkataan si gadis, hujan turun semakin deras hingga hampir membasahi lantai kamar gadis itu.

Lihat selengkapnya