“El angkat teman-temanmu ini! Menghalangi pemandangan!”
Elle menggerutu dibalik selimut tebal nya, suara nyaring yang bahkan mengalahkan bunyi gemuruh petir di musim hujan menganggu waktu pagi nya. Jelas saja, ia baru terjaga selama dua jam karena terlalu sibuk menyaksikan film ber-genre thriller action kesukaannya. Elle sama sekali tidak menyukai apapun yang bertema romantisme, baginya itu semua mustahil didapatkan dikehidupan nyata. Bukan berarti ia tidak percaya cinta atau semacamnya, hanya saja segala sesuatu yang ia temukan di sebuah film itu berlebihan.
Kembali ke suara yang menganggu, El menyibak selimutnya dan mencari asal suara tersebut. Terlihat seorang gadis di balkon kamarnya sedang berkacak pinggang membelakanginya, lebih tepatnya menghadap ke arah beberapa benda yang ia sebut sebagai teman-teman El.
“Seharusnya pagi seperti ini aku dapat melihat pemandangan yang indah, tetapi mereka semua menganggu” Ucap orang itu yang sudah mengetahui bahwa El berada di belakangnya.
“Lihat saja dari kamarmu!” El berjalan melewatinya dan mengambil satu temannya. “Bantu aku mengangkat ini” Lanjutnya.
“Ish. Lagi pula kenapa kau harus menyimpan teddy bear sebanyak ini sih. Kau sudah tidak muda lagi, jangan lupakan itu”
“Sampai aku berumur seratus tahun aku akan tetap menyimpan semua ini, mungkin akan semakin bertambah”
“Kalau begitu menikah saja dengan teddy mu. Yang mana yang laki-laki?”
“Yuri, ada apa dengan otakmu?” Elle menatap temannya itu dengan seksama, di pagi seperti ini apakah otak Yuri belum sepenuhnya sadar.
“Aku? Tidak ada apa-apa. Letaknya juga masih sama” Ucap Yuri sembari menyentuh kepala nya dan menggerakkan ke kanan juga ke kiri.
“Aish kau ini” Elle mengambil sebuah keranjang yang cukup besar, berisi beberapa buah teddy bear yang sengaja ia jemur sehabis di cuci semalam. Rutinitas yang Elle lakukan dua minggu sekali, ia tidak berniat membawa teddy bear nya ke laundry karena khawatir akan merusak bulu-bulu lembut yang melekat pada mereka. Ia jauh lebih tenang jika mengurus nya sendiri.
“Tunggu saja dikamarku, aku akan mandi” Ujar Elle kepada Yuri saat mereka berdua sudah berada dikamar milik El.
“Tidak, aku kebawah saja menemani Bibi”
“Menemani Bibi atau menemani...” Goda El yang mengetahui kebiasaan Yuri saat berkunjung kerumahnya.
“Dia tidak ada dirumah, pagi buta sudah berangkat” Yuri yang mengetahui maksud El langsung menanggapi tanpa mengelak.
“Hah? Kemana dia?”
“Tidak tahu. Cepat mandi! Aku tunggu di bawah gadis lambat” Yuri melenggang keluar begitu saja.
“Kemana dia pergi sepagi ini?” Racau nya pada diri sendiri. Ini memang bukan pertama kali, tetapi ini juga bukan pertama kali ia merasa khawatir jika yang dimaksud pergi secara mendadak. Tanpa menghiraukan lagi, El bergegas mandi karena ia harus berangkat menuju suatu tempat yang menempuh waktu kurang lebih 2 jam jika menggunakan kereta.
Dengan tergesa-gesa, El menuruni tangga sembari memakai jaket jeans untuk melengkapi penampilannya yang terlihat sangat sederhana tetapi tetap menawan. Saat keluar dari kamar mandi ia terkejut melihat jarum jam menunjukkan angka delapan, sudah berapa lama ia berdiam di kamar mandi. Bahkan ia tidak memperdulikan kaki nya yang belum sepenuhnya pulih, ia tetap berlari menuju dapur.
“Yuri ayo berangkat”
“El makan dulu sarapan mu” Ucap Bibi Jung
“Tidak sempat bi, Ayuklah Yuri” El menarik lengan Yuri yang sedang sibuk menyantap roti panggang isi daging buatan Bibi Jung.
“Kau ini! Aku sedang makan!”
“El makanlah dulu, perjalanan kalian cukup jauh”
Terpaksa El menuruti perintah Bibi Jung karena tidak tega dengan wanita paruh baya itu yang sudah menyiapkan sarapan untuknya. Terlebih mulai hari ini Bibi nya membuka toko lebih pagi dari biasanya, untuk meningkatkan pendapatan toko mereka.
“Pelan-pelan, kau bisa merusak tenggorokanmu jika tidak dikunyah makananmu itu”
“Santai saja El, kita tidak akan terlambat”
El melengos pasrah, Ia hanya tidak ingin terlambat barang sedetik pun. Pertunjukan seni itu penting baginya, karena menjadi syarat yang diberikan Profesornya agar Elle dapat lolos pada ujian akhir semester nanti. Kini ia sedang memasuki tahun kedua mengenyam pendidikan instrumental music di sebuah sekolah musik terkenal di kota Seoul. Perjuangannya untuk dapat lolos dan menjadi salah satu murid di sana tidaklah mudah. Elle harus mempelajari segala hal mengenai Violin, walaupun ia sudah sedikit menguasai beberapa teknik karena saat mendiang kakaknya masih hidup, Elle selalu mengekori sang kakak saat sedang bermain violin, itu membuatnya ikut mengetahui beberapa hal.
Setelah menyantap sarapannya, Elle mengahampiri Bibi Jung lalu mencium pipi nya dan selanjutnya bergegas pergi tanpa mengucap sepatah katapun dikarenakan mulutnya masih terisi penuh. Yuri melihat itu segera berdiri dari kursinya lalu berlari mengejar El, tidak lupa ia berpamitan dengan Bibi Jung. Yuri sangat memahami temannya tersebut, El akan menjadi sangat serius ketika menyangkut hal mengenai pendidikannya saat ini. El akan melakukan apapun agar ia dapat mewujudkan mimpi kakaknya yang tertunda. Yuri sempat khawatir itu akan mengganggu mental El, tetapi saat melihat bahwa El pun menikmati nya tersirat perasaan lega dalam benaknya. Yuri mengetahui sedikit hal tentang masa lalu El, itu pun karena Bibi Jung yang memberitahu. Bagaimanapun ia tidak pernah memaksa El untuk bercerita, Jika El menginginkannya ia akan sangat menerima.
“Elle-ya tidak bisa kah pelan-pelan?” Yuri berteriak karena mendapati Elle yang berjalan beberapa langkah didepannya.
Sekarang mereka telah memasuki area stasiun kereta api, mereka memutuskan menggunakan transportasi tersebut karena akan jauh lebih cepat dibanding menggunakan bus antar kota yang akan memakan waktu hampir empat jam, walaupun harga tiket kereta sedikit lebih mahal tetapi itu tidak masalah bagi Yuri karena baginya berdiam diri berjam-jam di dalam sebuah bus merupakan hal yang sangat menjengkelkan. Berbeda dengan Elle, ia sebenarnya lebih memilih bus karena menyangkut biaya yang lebih murah walaupun akan membuang waktu lebih lama.
“Hah kaki ku bisa patah kalau seperti ini terus!” Umpat Yuri yang saat ini sudah berada dikursinya yang berhadapan dengan Elle.
Melihat tingkah teman dekatnya itu, Elle hanya dapat terkekeh. Perjalanan menuju Busan memerlukan waktu sekitar dua jam. Dua gadis muda yang terlihat sedang menjalani kegiatannya masing-masing. Elle mengeluarkan notebook kecil nya, jari nya berselancar di layar persegi panjang benda tersebut, tidak lupa headset yang terpasang ditelinga nya memutar instrument klasik kesukaannya. Gadis di hadapannya terlihat jauh lebih tenang, berbeda dengan diri nya satu jam yang lalu, kepala yang dibaluti bennie coklat bertengger pada kaca disampingnya juga mata yang tertutup rapih menandakan ia sedang berada di alam bawah sadarnya. Sesekali Elle melirik temannya itu, demi dirinya Yuri rela meluangkan waktu liburnya untuk menemaninya. Walaupun Elle harus memaksa dan mengucapkan sebuah janji yang akhirnya ia rutuki sendiri.
“Yuri, kau yakin akan tetap berada ditempatmu sampai selesai?” Tanya Elle saat mereka telah sampai di pintu masuk teater.
“Yakin! Asal kau tidak melupakan janji mu. Lagi pula di sekitar sini tidak ada yang menarik” Ujar Yuri
Elle memutar bola matanya. “Ya aku janji. Tapi ingat, tunggu aku sampai aku yang menghampirimu” Peringat Elle kepada Yuri
“Sejak kapan kau berlebihan? Aku tahu!” Ujar Yuri. “Ayo masuk!” Lanjutnya.
Pertunjukkan dimulai. Alunan nada mulai menyeruak mengisi seluruh sudut ruangan itu. Pertunjukkan pertama dimulai dengan alunan lembut yang berasal dari Harpsichord, alunan klasik yang sangat menenangkan mungkin akan membuat Yuri tertidur di awal pertunjukkan, tetapi itu lebih baik dibanding ia pergi entah kemana dan membuat Elle harus mencari nya. Tangan lentik seorang gadis menari diatas tuts hitam-putih yang berjejer rapih tersebut. Elle terpukau setiap memperhatikan betapa menakjubkan mereka yang berada di panggung pertunjukkan musik seperti itu. Tidak bisa dipungkiri ia sangat menginginkan merasakan dirinya berada di panggung megah tersebut, tetapi apa daya dirinya masih terlalu jauh mencapai titik itu. Saat ini ia baru akan memasuki tahun kedua nya di sebuah sekolah musik ternama di Seoul, bahkan nilai ujiannya masih beberapa kali mendapat pengulangan. Elle benar-benar harus meningkatkan kapasitas dalam dirinya.
Pertunjukkan selanjutnya adalah perpaduan antara Violin dan Saxophone. Elle mengenali sang Violinist yang sedang berada di hadapannya, membungkukkan badan menyapa para penikmat musik. Dia bagaikan emas berkilau yang disimpan disebuah kaca tebal, tidak dapat dipecahkan dan dimiliki siapapun. Sekolahnya sangat beruntung memiliki Violinist terbaik dunia itu. Elle sangat mengagumi permainan wanita itu. Itulah alasan Elle berada disini, walaupun mereka berada dalam lingkungan yang sama tetapi mustahil bagi Elle dapat berbincang dengan wanita itu. Bahkan Elle tidak pernah bertemu dengan murid-murid terbaik di sekolahnya yang wajahnya terpampang di banner guna menarik siapapun yang ingin mengenyam pendidikan musik disana. Perbedaan antara Elle dan mereka sangat terasa. Hanya wanita tersebut yang pernah Elle temui walau sebatas pemain dan penonton.
Tak terasa dua jam telah berlalu, Elle meregangkan tubuhnya yang sedari tadi tetap terjaga dalam posisinya. Seluruh penonton terdengar riuh sembari melangkah keluar ruangan, percakapan mengenai penampilan siapa yang terbaik terdengar saling bertabrakan. Saat dirasa sudah mulai sepi, El berjalan ke kursi penonton paling belakang yang dekat dengan pintu keluar, mencari sosok gadis yang menemaninya tadi. Terlihat Yuri melambaikan tangan saat melihat Elle mendekat ke arahnya. Wajahnya terlihat segar tidak seperti biasanya, senyum mengembang di wajah tirus nya membuat Elle bergidik melihatnya.
“Kau kenapa?” Tanya Elle
“Tidak. Pertunjukkannya indah sekali ya”
Elle mengernyitkan dahi nya, memandang aneh pada temannya tersebut. Diperhatikannya Yuri dari atas sampai bawah dan kembali lagi, baik-baik saja.
“Berhenti tersenyum seperti itu kau membuatku takut!”
“Karena aku sedang senang!”