Continuity

Mutia Rahmadyanti
Chapter #6

Bab 5

“Kau tidak ingin ikut dengan ayahmu?”

“Aku harus sekolah.. Bukankah Ibu yang menemani Ayah?”

“Ibu tidak bisa”

“biar aku saja sendiri”

Seorang pria datang menengahi perbincangan kecil Ibu dan Anak yang sedang menyantap sarapan pagi mereka.

“Tapi.. tidak bisa kah kau mengantarnya setelah mereka kembali?”

“Tidak bisa, Direktur Wang meminta sore ini berkas harus sudah siap”

“Kenapa tiba-tiba?”

“Ya.. seperti itu lah dunia bisnis sayang. Aku sebagai sekretaris Bapak John harus selalu siap kapanpun dibutuhkan, begitu pula dengan nya”

“Yasudah bu, Ayah juga hanya sebentar”

“Ibu mu takut menahan rindu”

“Huh apa kalian tidak ingat umur?”

“Hahaha sudah sana berangkat. Jangan terlambat, dan berhenti tebar pesona. Ayah tidak ingin mendengar keluhan dari orang tua teman mu karena cinta mereka kau tolak”

“Memang sudah dari lahir aku mempesona. Hahaha.. Baiklah aku berangkat!”

Seorang anak lelaki dengan seragam sekolah nya mengayuh sepeda seraya bersiul menyambut pagi pertama di musim semi. Kerap kali ia melambaikan tangan dan tersenyum untuk menyapa beberapa orang yang mengenali nya berlalu lalang untuk memulai aktifitas mereka masing-masing. Tidak sungkan juga ia menghentikan sepeda nya untuk membantu seorang wanita lanjut usia yang akan membuka kedai makanannya. Pagi nya selalu seperti itu, dan berharap tidak akan pernah berubah.

Saat di sekolah pun, tidak jarang semua yang berpapasan dengannya menyapa dengan ramah. Terlebih para murid perempuan yang bersikap seolah mendapati idola papan atas datang menghampiri mereka. Walaupun lelaki itu memang telah menjadi idola sejak pertama kali ia tampil dalam pentas seni yang diadakan sekolahnya. Dapat dikatakan, sejak saat itu pesona nya yang terpendam bagaikan menyeruak keluar hingga menyentuh hati semua yang melihatnya. Namanya bahkan wajahnya sudah dikenal oleh semua kalangan di sekolah menengah atas yang sama dengannya hingga ke beberapa sekolah saingan. Semua berjalan dengan mudah juga menyenangkan baginya, tidak sedikit pun ia merasa terganggu akan sikap beberapa orang yang terlalu berlebihan kepada nya.

Tidak sampai disitu. Dibalik kesempurnaan yang menyilaukan penglihatan semua orang. Sifatnya yang jahil kerap kali membuatnya mendapat teguran dari beberapa guru.Bahkan guru nya sendiri menjadi sasaran kejahilannya. Walaupun ia termasuk murid yang cukup cerdas, tetapi ia sangat lemah dalam bidang matematika. Menurutnya siapapun yang menyukai mata pelajaran itu, dia dalah orang yang paling membosankan di dunia. Seni segala nya untuknya, mulai dari seni musik, seni rupa, hingga bela diri ia kuasai dengan baik. Itulah yang membuatnya tetap menjadi idola di lingkungannya. Kekurangannya tertutupi oleh beberapa bakat yang ia miliki dan tentunya.. wajahnya yang tampan.

“hei!”

“Apa ini?”

“Apa lagi? Surat untuk mu yang ku kumpulkan karena sangat menganggu hingga ke meja ku”

“Untuk kau saja”

“Ambil lah. Lihat, mereka memperhatikanmu! Jika kau membaca surat-surat ini dihadapan mereka dan tersenyum, aku yakin ruang kesehatan akan kembali penuh”

Mereka tertawa mengingat kejadian tempo hari saat lelaki itu menyantap beberapa cokelat yang diberikan saat hari kasih sayang. Tidak tahu pemberian siapa yang disantapnya, beberapa murid perempuan berteriak histeris mengira kalau itu pemberian dari mereka hingga membuat mereka sesak nafas dan berakhir di ruang kesehatan. Tidak tiga atau empat cokelat yang didapat, ia mendapat puluhan bungkus cokelat yang pada akhirnya ia bagikan ke setiap orang yang ia temui. Teman dekat nya menjelma menjadi pengawal pribadi yang harus siap dititipkan apapun ketika ada yang tidak berani menemui lelaki itu langsung. Terdengar berlebihan, tapi memang seperti itu adanya.

Hari-hari berlalu dengan cepat, kini senja mulai memancarkan sinar nya yang cukup menarik antensi lelaki yang kini mengenakan baju putih dengan tali berwarna hitam melingkar di pinggangnya. Peluh bercucuran di pelipisnya memberi kesan tersendiri bagi mereka yang sengaja memperhatikannya dari pinggir lapangan. Sesekali ia tersenyum kepada kumpulan perempuan yang setia menunggunya hingga petang menyambut.

Berlari kecil ke pinggir lapangan untuk melihat ponsel nya yang berada di dalam tas nya. Entah mengapa ia ingin melihat nya saja. Suara riuh murid perempuan yang membicarakannya karena melihat lelaki itu dari jarak dekat sebenarnya cukup menganggu nya, tetapi ia hanya menanggapi dengan santai.

Mata nya sedikit membola, terdapat sepuluh panggilan tidak terjawab dan lima pesan singkat yang belum dibaca. Dibuka satu persatu isi pesan yang berasal dari nomor yang sama. Seketika ia menggendong tas nya dan berlari kencang menuju tempat sepeda nya terparkir. Menghiraukan teriakan dari teman-temannya yang masih berada di tengah lapangan.

Dikayuh sepedanya dengan sangat cepat membelah jalanan sore menjelang malam itu. Pikirannya tidak dapat bekerja dengan baik, hanya satu yang terlintas ia harus segera sampai di rumah apapun yang terjadi.

Karena tergesa ia meletakkan sepedanya begitu saja di halaman rumahnya. Melangkah masuk mencari keberadaan kedua orang tua nya. Samar-samar ia mendengar suara wanita menangis dari arah dapur. Terlihat seorang wanita yang sudah cukup umur bertekuk lutut dengan beberapa serpihan kaca di hadapannya. Tangannya mengeluarkan cairan merah pekat yang sepertinya belum dibersihkan sama sekali. Air mata nya terus mengalir dan membuat dirinya bergetar.

Lelaki itu menghampiri wanita tersebut dan memeluknya. Ingin langsung menanyakan apa yang terjadi tetapi ia urungkan melihat keadaan wanita itu yang sangat menyayat hati nya. Diambilnya kain basah untuk membersihkan luka di tangan wanita itu dan mendudukkan wanita tersebut di kursi meja makan. Lalu ia membersihkan pecahan yang berasal dari piring juga gelas yang berserakan ke berbagai sudut dapur. Setelah selesai, ia menghampiri wanita tersebut.

“Ayahmu... berada di kantor polisi” Ucap wanita tersebut hati-hati sembari menatap wajah sang anak yang dipenuhi raut khawatir.

“Apa yang terjadi?”

“Jadi.. Tiga hari ini ayahmu tidak kembali karena ia sedang berada di kantor polisi. Terakhir kali ia berpamitan akan pergi, saat perjalanan pulang ia terlibat dalam sebuah kejadian. Hanya ada dua kendaraan disana, Mobil Ayahmu dan Mobil Bapak John yang terjun ke jurang mengalami kecelakaan. Ayahmu baik-baik saja karena ia melaju beberapa meter didepan kedaraan keluarga Bapak John. Ia berada di lokasi kejadian hingga beberapa polisi datang. Karena hanya dia dan satu anak Bapak John yang selamat disana, mereka dibawa ke kantor polisi untuk menjadi saksi. Tetapi entah mengapa kemarin Ayahmu ditetapkan sebagai... tersangka oleh mereka, dan... Ayahmu saat ini berada...” Ucapannya semakin terbata-bata karena nafasnya yang mulai tercekat oleh sesak yang tertahankan.

“Tapi.. bagaimana bisa seperti itu?”

Wanita tersebut hanya mampu menggelengkan kepala nya. Tubuhnya kembali bergetar bersamaan dengan jatuhnya tetesan air dari pulupuk mata nya.

Bingung dengan keadaan yang ada, lelaki tersebut menyambar jaket hitam yang menggantung di sudut tangga dan kemudian berlari pergi. Menyadari kepergian anak lelaki nya, ia berteriak memanggil lelaki tersebut tetapi tidak mendapatkan balasan sama sekali. Sepersekian detik lelaki itu benar-benar menghilang dari pandangannya.

Berlari tanpa memperdulikan sekelilingnya. Lelah di tubuhnya sudah hilang terbawa perasaan bingung dan khawatir yang kini hinggap di dirinya. Dengan sekuat tenaga akhirnya ia sampai di tempat tujuan.

“Dimana Ayahku!”

“Kau mencari siapa nak?”

“Kyunggi...”

Pria dengan raut wajah lelah dan cukup kacau, tidak sengaja melihat lelaki muda berteriak di hadapan petugas. Ia meminta petugas yang sedang mengawal nya untuk berhenti sejenak. Tangannya yang diikat oleh sebuah pengaman terbuat dari besi membuat nya tidak dapat merangkul seseorang yang ia rindukan. Selain itu ada hal lain yang membuatnya menahan rasa itu.

“Ayah”

Mereka berada disebuah ruangan tertutup dengan sebuah meja terletak diantara mereka. Dua orang penjaga bersiaga di depan satu-satu nya pintu ruangan tersebut. Kyunggi merasa seperti sedang berbicara dengan seorang penjahat yang tidak lain adalah Ayahnya sendiri.

“Apa yang terjadi?” Dengan berat hati ia berusaha membuka suaranya.

“Apa yang kamu lakukan disini? Pulanglah, temani Ibu mu”

“Aku bertanya, apa yang terjadi”

Berusaha mengalihkan pembicaraan, sang Ayah menatap anak nya dengan tatapan sendu dibalik mata nya yang berusaha di buat setegar mungkin.

“Tidak terjadi apa-apa. Pulanglah, jangan seperti ini”

“Ayah yang harusnya jangan seperti ini!” Emosi nya mulai tak tertahankan. “Apa ayah tidak dapat mengatakan yang sebenarnya?”

“Bukan urusanmu. Pulanglah”

“Oh,Apa ayah dibayar untuk ini? Oleh siapa?!” Suaranya mulai meninggi.

“Pulanglah!!”

Suasana semakin memanas ketika Ayahnya mulai membentaknya. Kyunggi menghela nafasnya sembari tersenyum miring. Bukan ini yang ia inginkan, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada ayahnya. Berbagai pertanyaan terlintas dalam benaknya, apakah ayahnya yang mencelakai keluarga John seperti yang dikatakan pihak kepolisian. Atau ada sesuatu yang Ayahnya sembunyikan.

“Benar dugaanku”

Kyunggi beranjak dari duduknya dan melangkah melewati sang Ayah, ia berhenti saat mendengar suara Ayahnya.

“Jangan melakukan ini lagi. Pulanglah, jaga dan temani ibumu.Jalani hari mu seperti biasa. Jika kau ingin melanjutkan sekolahmu ke Seoul suatu saat nanti. Bawa Ibumu bersamamu kemanapun kau pergi. Jaga kakakmu juga, jangan sampai beasiswa nya hilang hanya karena memikirkanku. Tumbuhlah dengan baik...” Perkataannya terdengar semakin melemah bersamaan dengan isakan yang samar-samar.

“Hiduplah dengan tenang” Lanjutnya.

Mendengar beberapa kalimat terakhir, Kyunggi menoleh mendapati punggung sang Ayah yang bergetar perlahan.

“Kau bukan Ayah yang ku kenal”

Kata terakhir yang ia ucapkan sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan satu-satunya pahlawan dalam hidupnya yang kini ia anggap sudah tidak ada lagi. Hatinya sesak, bagai terombang-ambing di lautan lepas. Jiwa nya seakan hilang dalam hitungan menit. Kaki yang sedari tadi terasa ringan melangkah tanpa lelah, kini melemah bagaikan mati rasa. Raut wajahnya yang selalu menyenangkan kini terlihat menegangkan. Mata nya memerah menahan perih yang sangat menyayat.

Kaki nya terus melangkah sedikit tertatih tanpa tujuan pasti. Ia tidak segera kembali, ia membutuhkan waktu sendiri. Pandangan yang kian samar karena sesuatu yang memaksa ingin terjun bebas dari retina nya. Tidak pernah ia bayangkan dirinya akan seperti ini. Tidak pernah menyangka, alam menghukum nya sedemikian menyakitkan.

Tetesan air mulai terasa menyentuh kulit nya. Seperti memberi ruang bagi lelaki itu untuk menumpahkan kepedihan yang ia tahan, hujan semakin menampakkan dirinya. Benar, sesuatu yang sedari tadi tertahankan dapat dengan bebas terjun menyatu bersama hujan yang mulai membasahi seluruh wajah hingga tubuhnya.

“Arrgghh!!” Teriak nya di tengah gemuruh hujan yang sangat deras.

Berdiam diri mematung membiarkan hujan semakin membasahi seluruh tubuhnya. Kaki nya tidak dapat melanjutkan langkah. Ia memilih berhenti sejenak, memejamkan mata dan berharap ia akan segera terbangun setelahnya.

Hari berganti bulan, suasana yang semula tentram dan hangat kini menghilang bagai tersapu angin. Tidak ada lagi canda di meja makan saat pagi hari, tidak ada lagi aktifitas yang biasa dilakukan setiap minggu pagi di halaman belakang, tidak ada kebahagiaan yang terlihat. Semua berganti menjadi pilu yang tergurat di wajah seorang Ibu dan dua anak laki-laki nya yang kini sedang berada di ruang keluarga, berkumpul tanpa ada perbincangan sedikit pun.

“Lebih baik kita berangkat sekarang” Seorang anak lelaki yang lebih tua memecah keheningan di antara mereka, lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju wanita yang termenung di sudut ruangan. Lelaki itu menggandeng dan merangkul lembut pundak wanita tersebut.

“Jangan seperti anak kecil, kau sudah besar. Pikirkan. Aku tunggu di sana” Lanjutnya berbicara kepada sang adik sebelum berlalu meninggalkannya sendiri.

Kyunggi, masih bertahan pada posisinya. Tatapannya kosong, pikirannya hampa, tetapi hati nya resah. Semenjak pertemuan terakhir dengan Ayahnya, ia sangat berubah. Tidak ada lagi seorang idola yang selalu menebar senyum, yang selalu menyapa siapapun kala bertemu, selalu menjahili sekelilingnya. Berganti menjadi seorang penyendiri, pendiam, dan anti social. Bahkan ia berhenti dari beberapa kegiatannya di sekolah yang membuat seluruh kalangan bertanya-tanya apa yang terjadi. Tidak ada satupun yang mengetahui kisahnya, hanya perubahan yang terasa dari keluarga kecil tersebut tanpa tahu penyebabnya.

Ia melempar bantal kursi yang berada disampingnya ke sembarang arah. Kesal dengan apa yang melilit perasaannya kini. Ia benci dengan keadaan, tetapi hati nya berkata ia harus menerima . Apakah seseorang dapat menerima kenyataan pahit di hidupnya dalam waktu sekejap?

Di tempat lain. Ruangan yang berukuran cukup besar itu sudah ramai dipenuhi orang-orang yang berkepentingan atau yang sekedar ingin menyaksikan. Empat pria memakai jubah hitam dengan sedikit aksen putih duduk berjajar di barisan paling depan menghadap ke semua orang yang datang. Di sudut kiri terdapat dua orang, satu pria berpakaian hampir serupa dengan empat pria di barisan depang dan satu pria memakai jas sedang duduk santai di posisi nya seraya bersiul.Dari sudut kanan terdapat satu pria berjubah hitam terlihat sedang mempersiapkan beberapa dokumen digenggamannya. Dia hanya sendiri.

Tidak lama, satu orang pria dengan pakaian yang terlihat lusuh memasuki ruangan di ikuti oleh dua orang pertugas berseragam. Tangan pria tersebut terikat besi pengaman yang sangat kuat. Ia kemudian duduk di kursi kosong menemani seorang pria yang sedari tadi disibukkan dengan berbagai kertas dihadapannya. Riuh terdengar dari barisan kursi yang berjajar rapih bak penonton yang akan menyaksikan suatu pertandingan. Beberapa sorot kamera bersiap di barisan paling belakang, fokusnya pada ke-delapan pria di depan sana.

Persidangan dimulai. Pria didepan sana silih berganti berbicara seperti meyakinkan empat pria barisan paling depan. Suasana riuh tidak lagi terdengar sejak awal dimulai. Ketegangan yang terasa mencekam, terlebih saat pria yang tangannya diikat duduk di satu kursi yang berada di tengah mereka dan menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan. Sesekali ia menghentikkan ucapannya dan suaranya terdengar bergetar, pada akhirnya ia tetap melanjutkan.

Dua orang yang berada tepat dibelakang pria tersebut hanya mampu menatap nanar punggung pria itu. Raut kesedihan juga kekecawaan terpancar dari wajah mereka. Ingin sekali berteriak dan membawa lari pria itu dari kekangan situasi seperti itu. Tetapi wanita tersebut mengingat satu kalimat yang diucapkan pria itu

‘Kalian akan dalam bahaya jika aku terus meronta. Jangan cegah aku. Jaga anak-anak ku, dan jaga dirimu. Aku menyayangi kalian’

 Kalimat yang beberapa minggu sempat diucapkan saat mereka saling bertemu walau terdapat kaca tebal yang membatasi. Tidak dipungkiri, ia merasa paling hancur disini. Apa yang harus dilakukannya setelah ini. Dan apa yang akan terjadi di masa depan. Satu anaknya telah melihatkan perubahan yang sangat jauh. Bagaimana ia dapat melewati ini semua?

Lihat selengkapnya