Orang-orang menahan napas. Sebuah bola mengudara, melewati ring menuju sisi lapangan bagian utara. Lima peserta yang berdiri di sana terdiam, tak berniat menghentikan pendaratannya.
Pasti keluar.
Sorakan penonton memenuhi ruangan. Bola dari Dean dinyatakan masuk oleh wasit. Permainan berakhir dan SMA 1 Jaya mencetak rekor baru, yaitu berhasil masuk final dengan bantuan pemain cadangan yang baru bergabung satu jam sebelum pertandingan berakhir.
Di menit-menit awal, klub voli SMA 1 Jaya kewalahan mengimbangi permainan cepat dari SMA 1 Karya yang jadi lawannya hari ini.
Postur tubuh pemain klub voli SMA 1 Karya lebih tinggi. Bahkan selama pertandingan berlangsung, smash yang dilakukan SMA 1 Jaya selalu di-block dengan mudah.
Kelihatannya tidak ada harapan untuk menang. Namun, kejelian Anita melihat peluang memang pantas dipuji. Ia seperti sudah tahu bahwa klub volinya bisa kalah. Karena itu, ia meminta Dean datang menonton pertandingan.
Dean yang benci duduk di bangku penonton berlama-lama, untungnya sangat menghargai sebuah persahabatan. Demi melihat Anita bertanding, ia rela datang meski dengan wajah setengah ditekuk. Ia tidak menduga sama sekali tujuan Anita mengajaknya ke sana adalah untuk dijadikan kartu as saat klub voli sekolahnya di ujung kekalahan.
Seluruh pemain resmi klub voli SMA 1 Jaya melepas rangkulan satu sama lain.
“Mana Dean?” tanya Tina, Kapten klub voli.
Anita menggerakkan dagu ke bangku penonton. Dean meneguk air dan menyapu keringatnya di sana. Walau bermain setengah jam saja tapi tenaga yang dipakainya sangat banyak. Ia melakukan smash berkali-kali.
“Kalau nggak ada dia, kita mungkin kalah.” Seorang cewek berambut pendek nyeletuk. Dean pernah mengambil alih bola yang mengarah padanya karena ia dalam posisi sulit.
Yang lain menggeleng. “Bukan mungkin lagi tapi pasti kalah!”
“Ini hasil yang luar biasa. Gimana caranya kita berterima kasih?” tanya sang kapten.
“Nggak usah,” jawab Anita enteng.
“Kenapa?”
“Dia nggak doyan terima kasih. Nggak akan senang kalau dengar dua kata itu dari kalian.” Anita bukan asal bicara.
“Ah, lu ngaco. Gue mau berterima kasih pada Dean Udah ditolong, masa’ nggak ngasih ucapan apapun.” Tina keukeh. Bahunya ditarik ketika hendak melangkah.
Anita menghela napas. “Gue udah bayar, kok … pakai uang kas kita.”
“A-apa?” Tina sama sekali tidak tahu ada yang dibayar.
“Satu pertandingan, enam ratus ribu.” Anita menjelaskan dengan raut wajah tenang. Tak bersalah tepatnya. “Dia pebisnis, bukan manusia baik hati yang ikhlas membantu orang kesusahan.”
“Enam ratus ribu?!”
Terserah jika Dean mau jadi manusia seperti apa. Yang sulit diterima Sang kapten adalah jumlah uang yang dipakai Anita menyewa kemampuan Dean. Jumlah sebanyak itu bisa digunakan untuk satu pertandingan lagi.
“Bayaran kalau minta dia berlomba tanpa buat perjanjian memang mahal. Berhubung gue ini teman kelasnya, dia memberi diskon sepuluh persen.” lanjut Anita, mulai cengengesan karena menyadari bahwa teman-temannya tidak baik-baik saja¬ sekarang.
Anggota lain melongo. Penilaiannya tentang Dean berubah dalam sekejap.
“Gue balik duluan!” Dean berteriak dari jauh.
Hanya Anita yang menoleh. “Hati-hati di jalan. Sekali lagi makasih.”
Dean mengangkat jempol sambil tersenyum lebar. “Makasih juga untuk bayarannya.”
Tina menyentuh kening, mendadak tidak enak badan ketika mendengar ucapan terakhir Dean. Pandangannya mengabur dan kepalanya terasa pening. Dana klub yang dikumpulkan susah payah, raib dalam satu hari untuk satu kemenangan.