Layaknya pusat jajanan murah dan begizi, XI IPA 3 berhasil menggeser kantin sebagai tempat yang paling banyak dikunjungi pada jam istirahat. Kelas itu bukan cuma ramai, tapi kekurangan oksigen. Yang tidak berkepentingan juga hadir menambah pengap ruangan.
“Mahalll.”
“Nggak mau?” Di meja baris ketiga kolom kedua, Dean menunjuk pintu. “Jalan keluarnya di sana.”
Mentang-mentang dibutuhkan, Dean bertingkah semena-mena, minta bayaran lebih banyak dari biasanya. Dan ia tidak menerima tawar-menawar di tanggal tua. Uang jajan menipis dan lidahnya sering minta dimanja dengan es krim.
Cowok perwakilan dari klub catur itu mendesah berat lalu mengeluarkan dompet. Sadar akan posisinya sebagai orang yang butuh bantuan. Ia tidak punya banyak pilihan selain menuruti kemauan Dean.
“Terima kasih.” Dean tersenyum ramah. Cowok itu berdiri dan berjalan keluar kelas sambil mengumpat dengan suara kecil. Sangat tidak ikhlas kehilangan uang hanya untuk mengajak Dean jadi peserta lomba catur.
“Berikutnyaaa!” teriak Dean. Dua cowok menyerobot antrean.
“Woi, antre dong!”
Seruan protes bertambah banyak. Dean langsung sadar. Terlalu populer juga tidak baik. Ia menutup kuping dan berniat melakukan itu sampai situasi kembali tenang.
Dua cowok yang jadi penyebab keributan, menoleh ke belakang. Satu di antara mereka memperingati, “Kalau kalian nggak diam, Pak Tama bisa datang ke sini.”
Barisan siswa yang antre terpaksa berhenti protes meski dengan ekspresi merajuk.
Deani memberi pijatan kecil ke pelipis dengan ujung jari tangan.
“Sabtu depan. Pukul sepuluh,” ucap Yogi, ketua tim tenis meja. To the point adalah prinsipnya.
“Sama.” Ketua tim panjat tebing yang bernama Ari ikut bicara.
Dean tidak masalah membantu mereka asalkan bayarannya setimpal. Yang jadi persoalan adalah waktu. Dua kapten itu mengikuti pertandingan di waktu yang sama.
“Gue bukan amuba yang bisa membelah diri.” Dean memaksakan senyum. “Jadi, kalian putusin sendiri siapa yang harus mengalah.”
Yogi merogoh saku celana lalu meletakkan dua lembar uang merah. “Gue bayar di awal kalau lu bersedia ikut ke klub gue.”
Terlalu cepat untuk kalah. Ari buru-buru mencari anggotanya di antara kerumunan karena ia tidak bawa uang. Salah seorang cowok berperawakan gendut mengeluarkan tiga lembar uang merah dengan ekspresi terpaksa setelah didesak berkali-kali oleh sang kapten.
“Gue bahkan bisa bayar lu lebih banyak dari ini,” ucap Ari angkuh usai mendorong uang milik temannya ke depan Dean.
Karena sudah tidak ada uang di sakunya, Yogi langsung berkata, “Nanti, gue tambah dua ratus ribu lagi. Gimana, Dean?”
Dua detik kemudian, Ari bersuara lagi. “Uang bukan masalah, Dean. Yang jelas lu mau bantu gue…”
“Dean, kalau ….”
“Oke oke. Berhenti.” Dean segera melerai adegan tawar-menawar itu. Ia jadi mirip satu-satunya ikan yang tersisa di pasar dan diperebutkan oleh dua pembeli kelaparan yang tidak bisa melanjutkan hidup jika tidak membeli ikan itu.
“Nggak usah pamer kekayaan di sini. Gue bukan orang melarat yang amat membutuhkan uang,” tambahnya. Membuat dua kapten itu menutup rapat mulutnya.
Seorang perempuan dengan wajah oval dan mata sipit menyeruak barisan abstrak yang terbentuk dari pintu masuk hingga ke pusat tontonan.
Melihat kemunculan cewek itu, Dean menghela napas panjang sebelum bertanya, “Dari mana aja lu, Nit?”
Cewek itu mengelus perutnya sambil tersenyum puas. “Dari makan bakso,” jawabnya lalu mengambil tempat di sisi Dean.
Dean berdecak. Pekerjaannya sebagai siswa serba bisa yang populer membuat waktu istirahatnya hilang. “Bisa-bisanya lu ninggalin gue dan makan sendiri. Ada saran nggak nih? Gue bantu Yogi atau Ari?”
Anita menatap dua cowok yang duduk di depan Dean. Keduanya punya tampang di atas rata-rata, familiar dan termasuk tipe idaman sebagian siswi SMA 1 Jaya.
Anita lalu bergumam tidak jelas sambil menempelkan ujung telunjuk ke jidat seolah ada tombol on untuk mengaktifkan otaknya di sana.
Yogi dan Ari, hmmm gantengan Yogi sih. Tapi…Ari lebih popular.
Otak Anita mulai bekerja. Ia manggut-manggut. Mereka punya pesona yang berbeda. Loh…Pikiran apa iniiii?
Anita refleks menggeleng kuat karena menyadari ada yang salah pada isi kepalanya. Kenapa juga ia bertingkah seolah diberi pilihan mau pacaran dengan siapa.
“Nit…” panggil Dean. Selain terlalu lama berpikir, tingkah Anita tampak mengkhawatirkan.
“Gue tahu.” Anita menjentikkan jari.
“Pasar dibubarkannnn. Pak tama terlihat di ujung koridor dan dipastikan menuju ke siniiiii!!”
Satu teriakan lantang mengacaukan seisi kelas. Yogi dan Ari buru-buru memungut uangnya di atas meja lalu berusaha membelah kerumunan yang menutup jalan. Namun, di waktu yang sama, penonton dan siswa yang antre sejak tadi berdesak-desakan di dekat pintu, sehingga sulit bagi kedua kapten itu lolos dengan mudah.
Dean dan Anita tetap di kelas. Akting belajar jadi alibi mereka untuk menghindari omelan Pak Tama yang panjangnya kadang mengalahkan pidato Kepala Sekolah saat upacara senin.
Pak Tama bukan monster menakutkan melainkan guru olah raga biasa. Tapi karena kecintaannya pada dunia olah raga yang amat besar, ia menentang keras kemurahan hati Dean yang rela jadi pemain siluman demi membuat suatu klub menang lomba. Bahkan ia menganggap kehadiran Dean dalam suatu klub hanya menjadikan anggota lain malas berlatih. Sebab harapan menang selalu digantungkan pada Dean yang bermurah hati mengulurkan tangan jika diiming-imingi bayaran tinggi.
Perubahan suasana yang kontras dari ribut ke sunyi kayak suasana makam, jadi tanda kalau Pak Tama sampai di depan kelas.
Dean membaca buku dengan sikap santai. Karena tidak terdengar suara apapun, ia penasaran dan melirik pelan-pelan ke arah pintu.
Sial, batinnya kemudian.
Tatapannya bertubrukan dengan tajamnya tatapan Pak Tama.
***
Pak Tama rutin melakukan patroli setiap jam istirahat untuk mengawasi praktek jual kemampuan yang dilakukan Dean. Teguran berupa skorsing sudah pernah diberikan, tapi berdasarkan gosip sekolah yang terus beredar, Dean sulit berhenti jadi pemain siluman karena tergiur oleh jumlah uang yang dijanjikan pelanggannya.
Zaman sekarang, nolak uang bisa dianggap gila. Setidaknya itu yang Dean percaya.
Maka dari itu, untuk memberantas tuntas praktek jual beli kemampuan, Pak Tama tidak hanya memberi sanksi pada Dean, tapi juga ke semua orang yang terlibat di dalamnya. Penjual dan pembeli disamaratakan.
“Minggu ini, mau mengacau di klub mana lagi?” tanya Pak Tama, tidak beranjak dari dekat pintu.
Karena penghuni kelas terdiam, suara Pak Tama sampai dengan jelas ke telinga Dean meski tidak begitu keras.