“Owww, kampret!”
Dean menggerutu sambil menengadah, memastikan sekali lagi kalau air yang membuat wajahnya basah adalah hujan, bukan air bah yang ditumpahkan seseorang dari salah satu penghuni gedung tinggi di tepi jalan.
“Heh?” Antara kaget dan tidak percaya, Dean kemudian bengong dan tanpa sadar menjatuhkan kantong putih berisi belanjaannya. Sepulang dari rumah Bara, ia mampir ke mini market membeli es krim.
Di tepi atas gedung yang dilihat Dean, seseorang berdiri tegak dengan kedua tangan terentang lurus ke samping, seolah sedang menikmati sensasi hujan sore ini. Perkiraan lain, mungkin ia sedang bersiap terbang alias…melompat ke bawah.
Bunuh diri selalu jadi pilihan utama untuk orang-orang putus asa. Besar kemungkinan itu juga yang direncanakan oleh orang itu.
Dean menyambar kantongannya lalu berlari masuk ke gedung, tempat cowok tadi unjuk aksi. Puluhan tangga dilalui Dean tanpa rasa lelah. Benar kata temannya, panik adalah sumber energi. Tersedia lift, tapi ia menyiksa dirinya naik tangga. Benar-benar penuh energi.
Sampai di atas gedung, Dean menarik ujung sweter orang yang nyaris membuatnya kena serangan jantung. Orang itu meringis sakit setelah terjungkal ke belakang. Ia lalu buru-buru bangkit dan berbalik.
Plak.
Tamparan Dean mendarat saat itu juga ke pipi kirinya.
“Woi!” cowok gondrong itu menyentuh pipinya sambil melotot. Sakitnya bukan main-main. Dalam hidupnya, belum pernah ia ditampar, apalagi sekeras tadi.
Namun, rasa sakit itu kemudian tertutupi oleh rasa terkejutnya melihat siapa pelaku penganiayaan barusan.
Sementara itu, Dean sibuk meneliti penampilan cowok di depannya. Seragam SMA di balik sweater hitam. Rambut masih gondrong dan pipi sebelah kiri kemerahan. Dean sontak meringis. Apa gue terlalu keras mengayunkan tangan?
Kemudian ia menggeleng kuat, menarik napas kuat-kuat. “Lu gila, ya?!” teriaknya.
“Enggak!” Cowok gondrong itu masih jengkel dan pipinya juga masih sakit. Terus sekarang, ia malah ditanya-tanya seolah tidak ada kekerasan beberapa detik yang lalu.
“Enggak diragukan lagi. Gitu, kan?” cecar Dean. Kembali memperhatikan penampilan cowok gondrong itu. Tatapannya terhenti di bagian dada. Tiba-tiba saja ia merasa perlu tahu siapa nama cowok itu.
Ia hendak maju, ingin membaca papan namanya, tapi cowok gondrong itu buru-buru menutupnya sambil mundur selangkah.
“Mau apa lagi?!” bentaknya.
Dean mengerjap sekali. Bersedekap, menatap cowok itu lurus-lurus. “Gue nggak tahu bagaimana sulitnya hidup lu, tapi memilih mati dengan cara melompat ke bawah, sungguh nggak keren.” Dean mengusap matanya dengan punggung tangan. Hujan berangsur hilang. Kini, cowok itu melongo ke arahnya.
“Gue nggak suka sesuatu yang nggak keren karena merusak mata.” Dean melanjutkan, keki ditatap lama.
Cowok itu mengerjap-ngerjap. Agak tercengang dengan kalimat panjang Dean yang semuanya di luar kenyataan.
Dean menunggunya bicara, mungkin ada kata balasan atau pembelaan tapi cowok itu malah tersenyum. Dean manatap heran, kenapa ada calon pelaku bunuh diri senyam-senyum setelah diberi siraman rohani?
Tidak terima, Dean berkacak pinggang. “Gini nih, cowok zaman now. Dinasihati, malah senyum gaje. Kalau lu masih galau, bukan gini solusinya. Banyak kegiatan positif yang bisa mengobati kegalauan lu yang nggak berfaedah itu.”
Mendengarnya, cowok itu menunduk. Amarahnya berangsur surut. Ia menangkup mulutnya, menahan tawa. Sial sekali dirinya hari ini. Pipinya ditampar karena salah paham.
Dean mengembuskan napas lesu lalu melirik jam tangan. Wajahnya semakin murung ketika menyadari satu kesialan. “Gara-gara lu nih, jam tangan gue kena air.”