I want the hunger for love and beauty to be in the depths of my spirit, for I have seen those who are satisfied the most wretched of people. I have heard the sigh of those in yearning and longing, and it is sweeter than the sweetest melody.
Kahlil Gibran—“A Tear and a Smile”
Gadis berambut panjang itu berjalan perlahan. Pikirannya menerawang tak tentu arah. Dia menjauhkan jarak tubuhnya dari bibir pantai. Aroma air laut semakin tercium kuat. Butir-butir pasir putih lembut menggesek pelan pori-pori kulitnya, menggelitik telapak kakinya yang tak beralas apa pun. Sepasang telinganya tetap terjaga menangkap suara apa pun dari pantai berpasir putih itu. Desau angin pantai dan gemuruh ombak membentur batu karang, menggelitik alam sadarnya. Gadis itu sadar bahwa dia berada tepat di ambang samudra biru. Sudut pandangnya lekat menatap ombak berkejar-kejaran, menyapu surfboard yang tengah dikendalikan oleh rider-nya dengan susah payah.
Pantai Nembrala selalu tenang. Ketenangan itu menyimpan keangkuhan yang mampu merobek kenangan sekecil apa pun untuk mencuat kembali ke ingatan gadis itu. Perpaduan biru air laut dan putihnya hamparan pasir seperti cat minyak yang tertuang di atas kanvas. Keindahan Nembrala semakin sempurna dengan berhias nyiur dan pohon kelapa yang bergoyang pelan searah belaian angin, serta kapal-kapal sederhana milik nelayan yang tertambat di perbatasan air laut dan pasir. Semua pemandangan itu diselimuti oleh lengkungan langit bersih tak berawan yang menyilaukan mata.
Cuaca cerah … kalau saja pikiran gadis itu tidak mengembara ke mana-mana dan terfokus pada keindahan Pantai Nembrala.
Warna cerah alam di Pantai Nembrala begitu kontras dengan warna hitam sundresses selutut tanpa lengan yang dipakainya. Tepi bawah dress katun hitam bermotif floral itu melambai mengikuti arah angin yang berembus di Nembrala. Hitam seharusnya menjadi warna yang dihindari untuk digunakan di tempat terik seperti Pantai Nembrala. Perlu mengusapkan sunblock ber-SPF tinggi untuk melindungi kulit agar tidak terpanggang. Namun, sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan hal-hal remeh semacam itu. Toh, dia menyukai hitam, warna yang bertolak belakang dengan arti namanya—Zuri yang berarti ‘putih’.
Dia berjalan beberapa langkah, semakin mendekati bibir pantai. Jari-jari tangannya menyentuh air pantai yang telah membasahi kedua kakinya. Disusul dengan tapak kakinya yang tidak beralas di atas pasir putih, menyebarkan sensasi hangat di bawah pijakannya. Dia sedikit berjongkok. Rambut panjang berombaknya yang hitam legam menyentuh pasir. Mata beningnya tertarik ke arah sebuah bintang laut yang tergulung ombak. Tangannya meraih bintang laut merah menyala itu.
Tangan kanan gadis itu menahan topi pantainya yang lebar dan putih. Bibirnya melengkung samar, mengulas senyum getir yang sejak tadi selalu ditahannya.
Pantai, ombak, juga bintang laut itu membuat ingatan lamanya terkuak lagi. Ingatan tentang laki-laki beraroma laut yang sampai sejauh ini selalu membuat perasaannya menjadi tak menentu.
Dia sadar bahwa mencintai laki-laki itu memang tindakan bodoh yang pernah dia lakukan. Mencintai laki-laki itu membuatnya kehilangan akal sehat. Walaupun begitu, dia tidak menyesal telah menyukai laki-laki itu. Baginya, laki-laki itu adalah persinggahan waktu yang membuatnya menjadi normal—menyukai seseorang dengan sepenuh hati apa pun risikonya.