When baking, follow directions.
When cooking, go by your own taste.
—Laiko Bahrs
"Duh!”
Denting berisik bergema di dalam rumah Zuri yang diikuti suara keluhan keras. Suara tersebut mampu membangunkan rasa penasaran gadis kurus berkulit cokelat itu. Dia pun bergegas berlari ke arah sumber suara.
Handuk putih tersampir di leher ramping gadis itu, lengkap dengan peralatan mandi yang terayun di tangan kanannya. Rambut panjangnya yang bergelombang diikat begitu saja ke atas dengan karet sehingga membentuk gelung besar di belakang kepalanya.
Gadis itu sesekali mengusap sepasang matanya yang berbentuk prominent. Kantuk masih melanda di wajah cantiknya, mengingat hari masih terlalu pagi. Langkahnya tergesa-gesa. Lupa sepenuhnya bahwa dia hanya berpakaian seadanya—tank top putih dan celana pendek motif bunga yang dikenakannya tidur semalam.
Tidak salah lagi, suara itu bersumber dari dapur resort yang dibangun papanya.
Ada sesuatu yang enggak beres, pikirnya saat mencium bau manis gosong menguar dari dalam dapur.
“Kamu ngapain, Ratri?” Gadis itu mengernyit sesampainya di dapur. Bibirnya nyengir bingung melihat kondisi dapur. “Sepagi ini, kamu sudah ... memasak?” lanjutnya ragu. Padahal, ada kata lain yang ingin dikeluarkan otaknya selain “memasak”, yaitu “menghancurkan dapur”.
Dapur berubah seperti kapal pecah. Bahan-bahan masakan tercecer di working table berbahan stainless. Bahkan, beberapa peralatan masak sudah berpindah dari tempat penyimpanannya.
Seorang perempuan berambut sebahu berdiri menghadap working table sambil menyeka peluh yang mengucur di keningnya. Sepertinya, dia sedang berusaha memasak sesuatu, tetapi gagal. Wajahnya yang kuyu karena belum mandi bertambah tidak keruan. Pipi sebelah kanannya tercoreng kerak hitam. Melihat kedatangan Zuri, dia menolehkan kepala ke arah Zuri sambil tersenyum salah tingkah. Tangan kanan perempuan bernama Ratri itu mematikan kompor gas dengan cekatan, walaupun percuma, toh masakannya sudah gagal.
“You see, aku mencoba membuat karamel dan … failed.” Ratri setengah mengedikkan bahu. Matanya tertuju pada panci yang berantakan, air yang tercecer, serta gula yang nyaris tumpah. Dilengkapi dengan lengketnya gula yang gosong di panci hingga menimbulkan kerak hitam dan bau manis bercampur sangit yang sangat khas. Semua itu semakin menyempurnakan kacaunya kondisi dapur.
Gadis kurus itu menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh geli. “Kukira kamu akan meledakkan dapur atau apa ….”
Ratri nyengir malu, “Hentikan, Zuri. Aku tahu aku benar-benar payah dalam hal memasak. Tapi, aku benar-benar ingin membuat karamel.”
“Untuk siapa?” Zuri meletakkan peralatan mandi ke kursi. Lalu, mendekati Ratri dengan tangan terlipat di depan dada.
“Tepatnya puding karamel,” ralat Ratri. “Hari ini, kan, ulang tahun pernikahanku dengan Joseph.” Pipi Ratri memerah.
“Lantas ….” Zuri nyengir semakin lebar.
Dia tahu Ratri ingin sekali memasak sesuatu untuk merayakan tahun kedua anniversary pernikahannya dengan Joseph. Dia jugalah yang paling tahu bahwa Ratri sangat payah memasak makanan. Ini bukan pemandangan langka bagi Zuri, Ratri membuat berantakan dapur dan merusak bahan yang sedang dimasaknya.
“Bantu aku, Zuri. Please.” Ratri memelas. “Dapur tidak pernah bersikap manis kepadaku,” keluhnya serius.
Zuri menggeleng. “Kamu salah. Kamulah yang enggak mencoba mengakrabkan diri dengan dapur.”
“Aku sudah ….”
“Kamu belum mencobanya,” kilah Zuri cepat.
“Kamu, kan, memang pintar memasak. Jadi, gampang ngomong begitu.”
Zuri menghela napas pendek. Mulai lagi.
Itu kalimat pamungkas yang selalu dikeluarkan Ratri jika gagal memasak. Dia berusaha mencari kesalahan orang lain sekaligus mencari alasan bahwa kekacauan di dapur karena dirinya tidak pandai memasak.
“Aku, toh, bisa memasak bukan karena bakat, melainkan aku berusaha terus.”
Ratri terkekeh mendengar pembelaan Zuri.
“Memasak itu bukan perkara bakat saja, melainkan juga kebiasaan, latihan, eksplorasi seperti seni. Di dunia ini memangnya ada yang instan?” lanjut Zuri diplomatif. Dia meletakkan handuk di samping peralatan mandi, berniat membantu sahabatnya itu.
“Sini,” pinta Zuri sambil menakar gula.
Dia lantas mengambil panci yang masih bersih. Zuri pun menyiapkan bahan-bahan, yang untungnya masih cukup, lalu merapikan meja dan peralatan kotor yang sempat dibuat berantakan oleh Ratri. Kemudian, Zuri berdiri menghadap working table setelah mengelap ceceran lumeran gula lengket dengan lap setengah basah.
Ratri mengerjap. “Aku enggak bisa masak.”