“Lulus nanti mau lanjut ke mana?” tanya Arsil. Dia ingin memastikan pilihan studi yang diambil adik satu-satunya itu agar tidak sampai salah jurusan.
“Fakultas kedokteran, Kak,” jawab Varrel sembari beranjak pindah tempat duduk ke sofa sebelum membuka laptop.
“Sudah yakin dengan pilihanmu?” tanya Arsil sedikit ketus. Ada rasa tak percaya yang tergambar jelas di dalam intonasi suaranya yang meninggi parah.
Spontan Varrel menatap tajam ke arah kakaknya yang masih duduk di kursi kayu di belakang sofa. “Apa maksud Kakak ngomong dengan intonasi begitu?” tanya Varrel sedikit ketus. “Kakak ingin meremehkanku?”
“Kuliah itu tidak mudah dan memakan waktu cukup lama. Apalagi, kuliah kedokteran. Banyak orang yang salah mengambil jurusan karena hanya faktor ikut-ikutan. Aku rasa, sebelum memutuskan, konsultasikan terlebih dahulu dengan keluarga. Kakak, sih, tidak apa-apa jika memang kamu ingin mengambil bidang itu jika memang pilihan yang terbaik bagimu. Kakak hanya tidak ingin kamu sampai menyesal nantinya. Apalagi, sampai putus di tengah jalan,” kata Arsil dengan santai. “Lagi pula, jika memang ingin kuliah di kedokteran, nilaimu harus diperbaiki. Masuk ke jurusan itu tidak mudah.”
Mendengar itu, Varrel terdiam. Ditatap kakaknya dengan pandangan yang sangat tajam. Tak terima mendengar penuturan Arsil yang seakan-akan menganggap remeh dirinya. Apalagi, Arsil adalah seorang dokter spesialis paru-paru yang baru saja lulus dua tahun kemarin.
Arsil tak memedulikan sikap Varrel yang seolah mengibarkan bendera perang padanya. Varrel terus menatapnya tajam selama beberapa menit yang berlalu.
Arsil merasa tetap wajib mengingatkan sang adik, melontarkan kata-kata yang menurutnya perlu agar adiknya tidak salah langkah. Dia tak mau adiknya sampai menyesal di kemudian hari, seperti kebanyakan teman-teman satu angkatannya dulu yang akhirnya memilih berhenti di tengah jalan. Bukan karena faktor biaya yang kurang mendukung, melainkan kemampuan mental dan fisik yang tidak memadai. Mereka menyerah sebelum toga sempat dikenakan. Memilih mundur dari sekian banyak orang yang ingin mengambil jurusan itu, tetapi terhalang oleh berbagai faktor. Namun, itulah warna dan serba-serbi kehidupan.
“Bilang saja kalau Kakak tidak mau bersaing denganku. Tidak mau kalau sampai aku jadi dokter juga!” protes Varrel dengan nada sedikit tinggi. Menyebabkan Mbok Nah yang sedang mencuci piring di dekat mereka berada, terlihat gelisah.
Mbok Nah memang selalu takut jika ada tanda-tanda mereka akan bertengkar, yang biasanya dimulai dari saling adu mulut. Karena, sejatinya mereka memang tak pernah akur jika bertemu. Anehnya, jika sudah terpisah sekian lama, mereka saling menelepon. Hampir tiap hari bertanya kabar seolah memendam rindu.
“Terserah kamu mau berpikir apa saja tentangku. Yang jelas, aku lebih dulu jadi dokter daripada kamu. Bukankah itu sesuai dengan persangkaanmu tadi? Dinasihati baik-baik, malah nyolot! Aku tambahi saja sekalian,” sahut Arsil mengejutkan. “Sepertinya kamu memang tidak pernah bisa membedakan antara mana yang saran dan mana yang ejekan sesuai dengan posisinya di mana. Bagimu, semua sama saja. Apa pun yang dikatakan oleh orang lain yang tak sepaham denganmu, dianggap sebagai musuh karena menentangmu. Sekarang terserah saja, kamu mau jadi seperti apa. Toh, berdiri sendiri sudah bisa, kan?” ucap Arsil semakin menohok.
“Harapan dan kekecewaan itu yang mana? Apa pun yang kalian omongkan tidak berpengaruh dengan diriku. Jadi, sekarang mau kalian pecat juga aku dari anggota keluarga, tidak takut.” Varrel menantang dengan tatapan sinis.
Terkadang permasalahan sepele di antara Arsil dan Varrel adalah seringnya tersulut emosi yang berujung pada perang mulut. Meskipun tak sampai melakukan kontak fisik, membuat Ibu Tria terkadang merasa khawatir melihat tingkah mereka berdua. Alasan mereka melakukan itu jika ditanya, semata demi mempertahankan harga diri dan kehormatan sebagai seorang laki-laki. Selalu itu jawaban mereka. Anehnya lagi, selalu kompak. Menjawabnya sering dalam waktu bersamaan.
Mendengar perang mulut mereka berdua, Ibu Tria tampak bingung. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Sesaat dia terlihat bimbang hendak memilih kata-kata yang sekiranya tepat untuk disampaikan di tengah situasi yang memanas.
“Jika memang ingin kuliah jurusan kedokteran, Mama dukung, Nak. Kamu mau kuliah di mana, tentukan mulai sekarang. Kejar targetmu. Namun, jika sudah memilih suatu bidang keilmuan untuk ditekuni, wajib diselesaikan sampai tuntas pendidikannya. Jangan sampai setengah-setengah dan berhenti di tengah jalan,” ucap Ibu Tria sembari menatap lekat pada putra bungsunya.
“Aku juga tidak mungkin seperti itu, Ma. Terserah kalian sajalah kalau memang tidak percaya! Tapi, kalau nggak dibolehin masuk kedokteran, lebih baik tidak usah kuliah sekalian. Lulus langsung kerja saja nanti, melamar di minimarket!” sahut Varrel sedikit meninggi.
Hampir dua jam mereka berbicara tentang masalah itu saja.
Varrel sedikit sulit diberikan masukan. Mungkin karena dia anak bungsu yang selalu diperhatikan dua puluh empat jam tanpa batas oleh kedua orang tua. Perhatian yang melampaui batas wajar yang diperbolehkan oleh ilmu parenting, kini terlihat berdampak pada Varrel. Dia tercipta menjadi sosok manja, egois, dan tak mau mendengar nasihat sama sekali.