Sekarang semua hal sangat cepat tersiar. Dalam hitungan detik, berita yang berasal dari kampung sudah bisa sampai ke mancanegara. Kalau dulu butuh waktu berminggu-minggu agar bisa sampai ke kampung sebelah. Sekarang tidak lagi. Jangankan kampung sebelah, negara yang tak tahu ujung pangkalnya pun masyarakatnya bisa tahu berita tersebut.
Parahnya lagi, di zaman serba modern ini, sudah tidak kenal, yang bersangkutan ikut menghujat lagi. Menghina inilah, berkata kotor itulah. Segalanya serba pro dan kontra. Tidak sedikit juga yang mendukung postingan seseorang, berkata hal baik-baik. Namun, yang kontra lebih banyak lagi jumlahnya. Ucapan mereka luar biasa pedas. Lebih pedas dari cabai bercampur lada.
Berita mengenai seorang pria yang menyantap beberapa ekor anak tikus hidup-hidup dengan campuran bumbu berwarna hitam kecokelatan viral, tersebar begitu saja di berbagai media.
Tak berselang hari, seorang wanita pun ikut trending ketika kegiatan makannya di sebuah rumah makan dengan menu hidangan sop kelelawar terekspos. Videonya di youtube tersebar luas melalui internet. Dalam hitungan jam, video yang berdurasi sekitar dua menit itu ditonton sebanyak lebih dari lima belas juta kali. Komentar netizen pun tak kalah banyak. Berbagai bahasa dari bermacam negara di dunia tumpah ruah, jadi satu ikut menghujat. Tidak tanggung-tanggung, mereka jadi objek perundungan internasional.
“Tidak hanya di youtube, surat kabar nasional ikut menyebarluaskan, bak berita paling penting yang harus sampai ke telinga masyarakat di seluruh penjuru negeri, seolah tidak ada berita lain yang bisa dibahas tuntas.” Ibu Tria kembali mengomel panjang lebar, bergumam sendiri ketika menonton kedua video setelah diberi tahu Varrel tadi sore.
Untungnya, Mbok Nah setia mendengarkan omelan sang majikan. Hanya mengangguk-angguk sembari menjawab Enggih, Bu. Jika ditanya pun selalu itu jawabannya.
“Katanya tikus itu mengandung banyak penyakit, suka hidup di tempat-tempat kotor. Kok, banyak yang memakannya, ya? Ditelan mentah-mentah lagi! Benar, kan, Mbok?” tanya Ibu Tria meminta dukungan.
“Enggih, Bu,” sahut Mbok Nah, seperti biasa.
“Sama juga dengan kelelawar. Bukannya virus yang muncul beberapa tahun lalu juga dari kelelawar asalnya? Kok, tetap saja dimakan. Seperti nggak ada jeranya. Apa memang sengaja cari penyakit, ya, mereka itu?” lanjut Ibu Tria lagi.
“Di Indonesia juga, kayak di Sulawesi, anak masyarakatnya banyak yang mengonsumsi hewan-hewan seperti itu. Tapi, mereka baik-baik saja. Masih sehat dan segar bugar. Mungkin ada cara memasaknya sendiri, ya, Bu. Berbeda dari cara memasak hewan ternak. Jadi, bisa aman dimakan,” jelas Mbok Nah. Kali ini jawabannya sangat panjang, seolah telah membaca banyak berita sebelumnya.
***
Saat tengah duduk-duduk di ruang keluarga, tiba-tiba Ibu Tria menjerit. Sampai-sampai ponsel yang ada di tangan secara tak sengaja terlempar dari genggaman, membentur kursi yang ada di seberang.
Mulut Ibu Tria tak henti-henti mengucapkan istigfar dengan suara sangat nyaring, membuat seisi rumah menjadi bingung dengan tingkahnya. Terutama, Arsil yang baru saja datang dari Sampit.
Dilihat ponsel milik sang ibu terhempas ke bawah kursi.
Sedangkan Varrel hanya menatap bingung di depan pintu kamar.