Tak semua manusia memiliki daya tahan tubuh yang kuat, kebal terhadap berbagai jenis virus dan penyakit. Ada di antara mereka yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Terkena debu sedikit, langsung flu. Tersirap air hujan setetes, bisa demam tinggi. Itulah manusia, diciptakan Tuhan dalam keadaan berbeda-beda dengan maksud dan tujuan agar manusia tetap bersyukur dan memanfaatkan setiap kelebihan dan kekurangan yang ada sebaik-baiknya.
Karena adanya kelebihan dan kekurangan pada masing-masing manusia itulah mereka tidak bisa hidup individualistik. Mereka butuh bersosialisasi, hidup saling membutuhkan satu sama lain agar bisa saling mengingatkan, saling menasihati, saling membantu, saling memaafkan tanpa pernah ingin menjatuhkan, dan saling berbagi cerita tanpa ada keinginan untuk menyebarluaskan cerita tersebut. Namun, pada kenyataannya, tak semua manusia bisa melakukannya. Tak semua bisa memenuhi dan sanggup melewatinya.
Kerikil tajam sebuah kehidupan merupakan warna tersendiri yang menjadi hiasan atau corak kehidupan, bak kemunculan pelangi di kala usai hujan lebat yang disertai gemuruh petir menggelegar.
Kita akan semakin besar apabila mampu meleburkan dan mengesampingkan keegoisan diri demi orang banyak. Hidup akan terasa lebih tenang dan penuh makna. Apalagi, jika kita selalu mampu menyelesaikan masalah dengan cara dan sikap kekeluargaan. Itulah kesempurnaan hidup.
Dengan mau memaafkan, lahirlah kemenangan sejati. Kemenangan tanpa pernah berpikir ingin menjatuhkan lawan. Bahagia tanpa pernah ingin membuat orang lain terluka.
Dengan memberikan senyuman yang tak ada batas, akan dapat meredamkan dendam dan kebencian. Sebab, tak ada lagi sekat antara kawan atau lawan. Bersikap saling memaafkan demi terjalinnya rasa persatuan. Namun, lagi-lagi, tak banyak yang mampu melakukannya. Mereka dikalahkan oleh rasa gengsi untuk memulai bersikap lapang dan rendah hati. Demi ego, mereka lebih rela jika bertahun-tahun saling berdiam diri tanpa hendak bertegur sapa sama sekali karena merasa diri paling benar.
***
Dalam hidup, kita sering bersikap egois terhadap diri sendiri. Kita tak peduli terhadap kesehatan diri. Tak pernah berhati-hati pada apa yang sepantasnya dimakan, mana yang tidak. Bahkan, terkadang kita bersikap berlebihan dan melampaui batas, termasuk dalam masalah pola makan.
Padahal, satu gigitan makanan yang tak terkontrol kehigienisannya mampu melumpuhkan jutaan organ tubuh. Hal ini tak bisa dipungkiri meskipun aroma dan warna makanan tersebut seringkali tampak memikat.
Begitu juga dengan warga kota Wuhan, Provinsi Hubei. Mereka berusaha menjalani hidup layaknya manusia pada umumnya. Memakan apa yang telah disediakan alam sebelum memasaknya sesuai dengan selera.
Sebagai manusia yang diberikan akal untuk berpikir dan rasa untuk menimbang, mereka telah berusaha melakukan segala sesuatu yang terbaik sehubungan dengan apa yang dikonsumsi. Semuanya telah disesuaikan dengan penerimaan lidah sebagai indra pencecap dan lambung, tempat awal mencerna makanan dalam organ tubuh. Sebab, faktor rasa yang dijadikan jutaan manusia sebagai tolak ukur dalam melakukan penilaian utama terhadap makanan.
“Rel, coba buka youtube,” pinta Arsil.
“Ngapain buka youtube? Kayak nggak ada kerjaan. Lagian, kuotaku sekarat,” sahut Varrel.
“Pokoknya, buka saja sekarang. Soalnya, ini penting,” sahut Arsil.
“Memang ada berita apa, sih?”
“Sekarang lagi ada virus mematikan. Ini jauh berbeda dari virus-virus sars dan flu burung. Jumlah yang terpapar tak sedikit, bukan main-main. Karena, penularannya sangat cepat dan aktif,” jelas Arsil.
“Oh, itu, sih, aku sudah dengar. Tapi, kejadiannya, kan, di Wuhan sana. Jauh dari sini, Kak. Terhalang lautan luas. Tidak mungkinlah bisa sampai ke sini. Sangat mustahil,” sahut Varrel tanpa ada sedikit pun rasa bimbang dan gamang dalam diri. Dia sepenuhnya yakin, virus yang ditemukan di Wuhan, tak akan pernah sampai menjamah Indonesia, apalagi daerah tempat tinggalnya.
“Kok, ngomongnya seperti itu, sih? Kayak menganggap remeh dan sepele banget. Ini virus, lho. Pasti menyebar tanpa bisa diprediksi.”
“Siapa suruh mereka makan makanan yang ekstrem? Sudah tahu makanan itu tidak layak dikonsumsi, masih saja bersikeras. Seperti tidak ada makanan lain saja. Kalau sudah seperti ini kejadiannya, siapa yang salah? Semua dibuat pusing tujuh keliling padahal nggak ikut terlibat. Mereka seperti sengaja membuat urusan baru yang harus ditangani dunia. Kadang kala kupikir, masyarakat ini memang sok pintar. Diberitahu buat begini, malah begitu. Serong dan belok ke sana kemari. Kalau sudah seperti ini, malah pemerintah yang disalahkan oleh masyarakat. Dianggap tak becus menangani masalah publik. Ah, entahlah, suka-suka mereka sajalah,” jawab Varrel tampak kesal.
“Satu hal lagi yang harus direnungkan.” Varrel seolah belum puas bertutur panjang lebar. Dilanjutkan lagi ucapannya, “Bukankah ular itu berbisa? Kelelawar mengandung banyak virus? Tikus, jangkrik, kelabang, katak, sama saja. Semua itu seharusnya tidak boleh dikonsumsi. Sebab, ada mata rantainya sendiri-sendiri. Tuhan menciptakan makhluk tersebut untuk siapa, buat apa, dan dari siapa. Namun, manusia rata-rata serakah dan rakus. Semuanya dimakan tanpa pandang bulu. Padahal, semuanya sudah memiliki jatah masing-masing. Yang mana punya manusia, yang mana bagiannya hewan, yang mana jatah buat tumbuhan. Itu semua sudah Tuhan bagi dengan adil sesuai porsi.”