Siang berlalu sebagaimana mestinya. Awan biru membentang di angkasa luas, seolah sengaja membendung sinar sang surya yang amat terik. Sesekali, angin berembus lembut, menyapa makhluk bumi yang terpapar panasnya sinar mentari.
Arsil baru saja selesai makan. Sambil beristirahat santai, dia menonton berita terkait perkembangan virus corona yang mewabah di kota Wuhan. Sudah menjadi kebiasaan keluarga, jika selesai makan siang, duduk santai sejenak di ruang tamu untuk meluruskan perut yang kekenyangan.
“Sil, perkembangan virus corona, kok, semakin tajam, ya. Tapi, kenapa negara-negara lain pada diam?” tanya Bapak Rizwan sedikit kesal melihat berita yang tersiar. Dia mendengar bahwa WHO sebagai pusat organisasi kesehatan dunia, terkesan lambat dalam menangani kasus tersebut.
“Bukannya diam, Yah. Mereka juga membantu, kok. Ada yang mengirimkan alat-alat kesehatan, tim medis, dan sebagainya. Negara-negara di dunia juga ikut waspada, takutnya corona akan menjadi pandemi,” jawab Arsil.
“Virus ini sama seperti kasus sebelumnya, tidak?” tanya Pak Rizwan lagi.
“Maksudnya, Yah?”
“Sebelumnya di Tiongkok juga pernah terjadi kasus seperti ini. Sama apa tidak pola penyebaran dan cara penanganannya dengan yang sekarang?”
“Oh, soal flu burung? Flu burung memang berasal dari Tiongkok. Namun, kasus dan penanganannya jauh berbeda. Corona mirip dengan sars, virus yang pernah menjadi pandemi di negara timur tengah, seperti Arab Saudi. Virus ini sama-sama berasal dari hewan. Kalau corona sendiri, berasal dari kelelawar. Sebab, dalam tubuh kelalawar memang mengandung banyak jenis virus. Salah satunya corona,” jelas Arsil
Bapak Rizwan seketika terdiam.
“Kenapa, Yah? Ada perkembangan apa lagi tentang corona?” sambung Ibu Tria. Dia lari tergopoh-gopoh dari dapur. Rasa penasaran akan berita corona, mengalahkan kecintaannya pada dapur.
“Virusnya semakin menyebar. Korban yang meningal sudah tak terhitung lagi jumlahnya.”
“Innalillahi wa innailahi rajiun. Mana sudah dekat bulan puasa lagi,” sambung Mbok Nah yang ikut melongokkan kepala dari ujung pintu dapur. Dia jadi ikut penasaran dengan berita yang heboh itu.
“Benar, Mbok. Pasti berimbas pada semuanya.”
“Ya, Mbok. Saat ini Tiongkok kewalahan menghadapi kenyataan ini. Beberapa negara tetangganya juga ada yang mengonfirmasi bahwa corona sudah menyebar,” jawab Varrel.
“Di mana kamu dengar berita itu? Jangan sekadar menakut-nakuti,” ujar Bu Tria.
“Dari televisi, Ma. Masa mau mengarang? Itu di televisi swasta tadi menyiarkan keadaan di Wuhan dan beberapa negara lain yang sudah terpapar.”
“Ya Allah, ya Rabb. Dunia sudah tua. Kita sudah ada di masanya,” sambung Mbok Nah sebelum kembali masuk ke dalam dapur, menyelesaikan tugasnya untuk mencuci piring sehabis makan siang.
“Ya benar. Kita sudah berada di akhir zaman. Terlihat jelas dari huru-hara yang terjadi di dunia dan tak bisa dipungkiri keberadaannya,” gumam Ibu Tria, menyetujui pendapat Mbok Nah.
“Tidak usah terlalu panik. Santai dan tenang, Ma. Tapi, tetap harus waspada. Sebab, kebanyakan orang yang meninggal saat ini dikarenakan panik. Kepanikan yang berlebihan menurunkan daya tahan tubuh. Metabolisme organ dalam juga tidak bisa bekerja normal karena syaraf-syaraf otot mengencang berlebihan diakibatkan stres,” kata Arsil. “Permasalahan hidup tak bisa dihindari. Setiap keputusan yang diambil memiliki risiko permasalahan yang beragam. Begitu juga dengan keadaan jiwa yang tak terkontrol. Dia bisa lumpuh, tak berfungsi sebagaimana mestinya lantaran stres berlebihan. Tentu saja hal itu akan berdampak buruk dan berakibat fatal. Nyawa adalah taruhannya.”
“Bagaimana tidak takut? Kalau di mana-mana selalu ada berita soal corona. Semua beritanya tidak ada yang menyenangkan, justru menakutkan,” ucap Ibu Tria, gusar. Dia diliputi kegundahan yang kini beranjak kronis akut. Khawatir risiko terburuk soal corona akan menimpa pada keluarga tercinta.
Terkadang media memang terlalu berlebihan dalam menyampaikan informasi. Tergesa-gesa mengeluarkan pernyataan atau pemberitaan tanpa melihat latar belakang dan keadaan masyarakat. Terkadang apa yang diberitakan oleh mereka tidak sama dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Itu dilakukan semata demi mencapai ranking teratas dalam pemberitaan. Sehingga, tidak sampai memikirkan kondisi psikologis keluarga korban, pun keadaan masyarakat sekitar yang sering berujung pada ketakutan berlebihan. Namun, dari semua hal itu, ada dampak positifnya juga. Masyarakat jadi lebih tahu akan keadaan di luar sana sehingga bisa memiliki cukup waktu untuk bersiap-siap jika ada kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi.
“Biasanya kalau sudah ada yang terkena dan terkontaminasi di sebuah wilayah itu berapa lama baru bisa dibasmi virusnya, Kak?” tanya Varrel.
“Sebenarnya itu tergantung pada kondisi masyarakat apakah bisa diajak bekerja sama, patuh terhadap kebijakan pemerintah, dan peduli terhadap sesama atau tidak. Karena, di saat seperti ini, semua harus bekerja sama satu sama lain. Pemerintah membuat aturan dan menjaga stabilitas perekonomian. Tim medis bertindak sebagai garda terdepan. TNI dan Polri menjaga keamanan agar keadaan lingkungan selalu kondusif. Masyarakat menjalankan imbauan yang ada dengan disiplin. Sebab, dampaknya seperti yang dapat dilihat di Wuhan. Tim kesehatan harus pontang-panting memulihkan keadaan. Perekonomian hancur, pendidikan terbengkalai, kegiatan keagamaan, sosial, dan sebagainya harus dibatalkan pelaksanaannya,” jelas Arsil.
Semua terdiam, tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi di Indonesia.