Awan tiba-tiba berubah mendung. Dalam sekejap, langit biru berubah kehitaman. Desau angin terdengar berembus kencang. Daun-daun berjatuhan dari ranting, terbawa jauh terbang bersama angin. Burung-burung bertebaran di angkasa luas, bersiap-siap kembali ke sarang sebelum rinai hujan berjatuhan.
Biasanya di kala hujan akan tiba, anak-anak kecil bersuka ria menyambutnya, bak sebuah permainan dan atraksi luar biasa. Namun, tidak halnya untuk kali ini. Hujan tak disambut dengan riang. Hujan menjatuhkan diri dalam kesunyian tanpa disambut gelak tawa. Tak ada permainan bola di lapangan luas. Tak ada yang berlari-larian sambil menari bebas di bawah hujan. Seakan, hujan kali ini adalah malaikat maut yang kehadirannya ditakuti semua makhluk yang bernyawa, yang kedatangannya dibenci dan kalau bisa dihindari. Hujan kali ini sangat berbeda. Jauh berbeda dari hari yang lain.
Semakin hari, keadaan semakin mencekam. Berita dari berbagai media semakin santer, tak ada yang memberikan kabar bahagia. Jikapun ada, dari seratus berita, kurang lebih hanya sepuluh persennya saja yang membuat hati tenang. Sisanya menyakitkan siapa pun yang menyimak berita tersebut dengan hati cemas.
Kasus mengenai orang yang terpapar virus mematikan itu semakin meningkat dalam hitungan detik. Dari Orang dalam Pengawasan (DPO), berlanjut menjadi pasien dalam pengawasan, lalu positif terpapar. Yang meninggal semakin meningkat. Corona seperti angin yang bertiup kencang, lalu menggugurkan daun-daun tanpa merasa berdosa. Membawanya terbang tinggi sebelum dihempaskan ke bumi.
Corona adalah sang malaikat maut berwujud virus mematikan. Dunia dibuatnya diam. Keangkuhan manusia yang dibayar lunas oleh Tuhan. Kedigdayaan yang dibangga-banggakan sebagian negara penguasa dunia kini lumpuh, tanpa bisa bergerak leluasa sedikit pun. Dunia menangis. Negara berkembang ke bawah histeris.
Begitulah cara Tuhan membersihkan dunia. Memberikan peringatan dengan cara-Nya tersendiri. Agar apa yang terjadi dapat diambil hikmahnya sebagai pembelajaran hidup. Sebab, semua makhluk Allah membawa visi dan misi tersendiri.
Contohnya, lalat yang ditugaskan tinggal di tempat yang kotor. Kehadirannya dibenci semua orang. Dianggap membawa penyakit dan kuman. Padahal, dia tak akan datang jika tempat itu bersih. Hal inilah yang ingin Allah ingatkan kepada kita bahwa di sekitar masih ada tempat yang kotor lewat kehadiran lalat. Bersihkan tempat tersebut agar dapat terhindar dari penyakit.
Jika sudah terjadi, semua orang suka saling menyalahkan. Saling menyerang, menjatuhkan sama lain, merasa diri paling benar. Tak ada yang mau bertanggung jawab. Seperti kasus pandemi virus corona ini. Berbagai teori konspirasi pun bermunculan. Ada yang bilang sebagai akibat dari laboratorium di Wuhan, Tiongkok, yang bocor. Ada yang menganggap itu merupakan senjata biologis sebuah organisasi rahasia untuk mengurangi populasi dunia yang terlalu banyak.
Ada pula yang berasumsi itu adalah senjata biologis Amerika Serikat untuk menghancurkan perang dagang Tiongkok yang mulai menguasai dunia. Amerika Serikat tidak terima lawan atau rivalnya naik satu tingkat mengalahkan dia sehingga diciptakanlah virus tersebut. Yang jelas, salah atau benar atas tuduhan tersebut, Tuhan pun punya tujuan atas semua ini. Dia ingin mengingatkan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini tempat bergantung atau mengadu atas segala kejadian, selain kepada-Nya. Tuhan adalah segalanya. Segala di atas segala.
***
“Di jalan tadi hujan tidak, Ga?” tanya Varrel sambil mengajak Rangga masuk ke kamarnya.
“Lumayan gerimis. Waktu sudah mau sampai sini, baru hujannya turun lebat. Makanya, nggak sampai terlalu basah kuyup.”
“Ya sudah, ganti bajumu sana. Pakai dulu bajuku. Biar tidak sampai terkena demam. Tapi, kembalikan kalau sudah selesai dicuci. Awas saja kalau tidak,” ucap Varrel.
“Siap, Komandan. Bukannya kamu yang sering meminjam bajuku, tetapi tidak pernah kembali,” sambung Rangga sambil membuka-buka lemari Varrel demi memilih kaus yang pas di badannya. “Rel, kamu tahu, tidak? Sebenarnya ada virus yang jauh lebih berbahaya daripada virus corona.”
“Masa? Virus baru, ya? Yang satu saja belum selesai, datang lagi kasus baru,” sahut Varrel dengan serius.
“Tidak. Ini virus lama. Sudah menjadi pandemi.”
“Lha, kok, aku tidak tahu, ya? Di media disebarkan informasi mengenai virus ini, tidak?” tanya Varrel. Ekspresinya makin serius mendengar penuturan Rangga.
“Hampir setiap hari malah. Bahkan, sudah masuk ke wilayah kita. Hanya saja kita tidak menerapkan karantina wilayah atau memberlakukan lockdown terhadap virus ini. Karena, kita masih berada di zona kuning,” sahut Rangga sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Ih, kamu lagi ngerjain aku, ya, Ngga? Parah betul kamu ini! Aku kira sungguhan,” ucap Varrel kesal.