Jarum jam sudah menunjukkan angka dua puluh satu lewat tiga puluh menit. Sudah setengah jam lebih mereka berbicara melalui udara.
Di luar rumah, keadaan masih sangat ramai.
Dengan anggun, rembulan bersama gemintang seperti sengaja menghiasi kanvas malam yang hitam pekat dengan warna khas. Memberikan titik pembeda dari angkasa hitam. Seakan menjadi pertanda bahwa sesulit apa pun hidup, pasti akan ada sebuah harapan untuk bisa bertahan.
Arsil beranjak keluar ruangan, memilih duduk di teras. Disaksikannya keramaian malam yang semakin larut, semakin menjadi. Kota kecil yang tak pernah tidur.
Beberapa menit kemudian, Arsil buru-buru lari keluar pagar sambil berteriak-teriak, “Ya, tunggu sebentar!” Dia balik ke kamar sampai beberapa kali, mencari kunci pintu depan yang tak ditemukan keberadaannya.
Ojol yang dipesannya hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah laku Arsil dari luar. “Mas, bisa cepat sedikit, tidak? Mau mengantar yang memesan lagi. Kasihan menunggu lama jadinya,” tegur si ojol.
“Ya, maaf-maaf. Saya salah,” sahut Arsil. Dia akhirnya memilih mengunci pintu depan dari dalam karena kuncinya tidak kunjung ditemukan. Untungnya, rumah yang didiaminya punya pintu belakang.
***
“Berapa semuanya, Mas?” tanya Arsil begitu sudah sampai di tujuan.
“Delapan puluh ribu.”
Arsil menyodorkan uang lembaran seratus ribuan kepada si ojol. “Kembaliannya diambil saja, Mas. Sekali lagi, mohon maaf, ya.”
“Ya, Mas. Namun, lain kali jangan seperti ini. Kasihan driver kalau sampai menunggu lama. Terima kasih tipsnya.”
“Sama-sama, Mas. Sekali lagi, mohon maaf,” ujar Arsil, merasa bersalah dengan kecerobohannya sendiri.
***
Arsil kembali masuk ke rumah lewat pintu belakang. Diambil mangkuk dan sendok sebelum membawanya ke depan televisi yang sudah hidup sedari tadi, tak ada yang menonton.