Musim penghujan mulai tiba. Perubahan cuaca ikut memengaruhi perkembangan virus corona.
Di beberapa wilayah di Indonesia sudah ada yang sampai kebanjiran karena hujan yang datang begitu sering. Sedangkan masyarakat sendiri mulai kesal terkait kebijakan pemerintah yang menerapkan peraturan covid yang berubah-rubah hingga membuat korban yang terpapar dan meninggal setiap harinya tak terkendali, bak daun-daun yang berguguran tertiup angin.
Corona merupakan makhluk Allah yang tak terlihat oleh mata karena bentuknya terlalu kecil. Namun, mampu menumbangkan kesombongan makhluk yang ada tanpa perkecualian. Menghancurkan semua kebanggaan yang dimiliki manusia. Mereka tumbang satu persatu, kalah oleh seleksi alam. Hal itu terjadi secara merata di seluruh dunia. Lagi-lagi Allah ingin menunjukkan kuasa-Nya. Dia ingin mengingatkan kita, dengan cara-Nya sendiri bahwa kita makhluk yang lemah, tak berdaya tanpa pertolongan-Nya.
Setiap saat media sosial memuat tentang korban keganasan virus corona. Tak sedikit tim medis berguguran dalam mengemban tugas. Hingga hastag save pahlawan kemanusian tersebar di seluruh media tanpa pengecualian. Sedangkan di mana-mana tingkat kriminalitas semakin meningkat. Pembunuhan semakin merajalela. Setiap hari ada saja penemuan mayat. Entahlah, hanya Allah yang tahu ada apa di balik semua ketentuan-Nya.
Arsil mengurung diri di rumah, tak berani ke mana-mana. Apalagi, Sampit sudah masuk zona hitam, rawan sekali terpapar.
Sepanjang libur dihabiskannya di rumah, bingung mau melakukan apa. Sebab, biasanya dia langsung pulang ke rumah orang tua.
Tiga hari saja berdiam diri tanpa kejelasan mau berbuat apa di rumah, membuat stresnya kambuh. “Huh, pusing aku lama-lama begini. Kalau terus begini sampai berhari-hari lamanya, banyak orang yang bisa jadi gila,” gerutu Arsil sambil menghidupkan televisi di kamar.
Dia bingung mau melakukan apa. Isi lemari es kosong, stok makanan habis. Sedangkan mau keluar rumah, dia malas dan takut. Satu-satunya jalan adalah memesan makanan lewat daring. Risikonya, harus membayar lebih mahal dan menunggu lama.
“Huh, stok makanan habis pula. Ya sudahlah, terpaksa beli daring saja.” Arsil mengambil ponsel yang teronggok di saku celana sebelum menelepon kurir langganan. “Saya pesan tuup jelawat dengan oseng kelakai, ya.”
Dia keluar masuk, mondar mandir ke kamarnya tanpa kejelasan mau melakukan apa. Dia merasa lebih gelisah dari biasanya.
Televisi dibiarkan hidup begitu saja tanpa ada yang menonton. Seakan-akan televisi yang menonton tingkah Arsil yang kebingungan.
Semenit kemudian, ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk atas nama Varrel.
“Assalamualaikum, Kak,” sapa Varrel dari seberang.
“Wa’alaikumussalam. Kenapa, Rel?”
“Mama, Kak. Mama sakit, jatuh dari kamar mandi. Kakinya tidak bisa digunakan berdiri,” jawab Varrel.
“Jatuh? Kapan?” Arsil terkejut setengah mati dengan kabar tak terduga yang harus didengarnya.
“Baru saja. Tadi Mama mandi sebelum salat Zuhur. Saat mau keluar kamar mandi, Mama terpeleset. Kepala mama terbentur pintu kamar mandi hingga pingsan,” jelas Varrel.
“Terus, sekarang bagaimana kondisi Mama? Ayah di mana?” Arsil mencecar dengan berbagai pertanyaan.
“Kakak ini banyak tanya. Pokoknya sekarang cepat pulang. Ayah belum balik ke rumah, dari tadi keluar. Ponselnya ditinggal di sini, jadi nggak bisa dihubungi. Aku dan Mbok Nah yang bingung. Cepat pulang. Titik,” ucap Varrel sebelum mematikan panggilan tanpa menunggu jawaban Arsil.
“Rel? Varrel? Belum selesai, kok, dimatikan, sih!” Arsil jadi mengomel sendiri.
Dihubunginya balik sang adik demi ingin menyambung pembicaraan yang terputus.
Beberapa kali sambungannya tidak diangkat padahal nada sambungnya berbunyi di seberang sana. Baru setelah panggilan yang keempat, diangkat.
“Orang ngomong belum selesai, kok, sudah dimatikan. Kebiasaan!” Arsil langsung nyerocos begitu telepon diangkat.
Varrel hanya terdiam mendengarkan omelan Arsil.
“Rel! Varrel! Dengar, tidak, Kakak ngomong apa? Rel, kok, diam saja, sih?” panggil Arsil berulang kali.
“Ya, dengar. Tidak usah berteriak-teriak. Aku tidak tuli, Kak,” sahut Varrel kesal.
“Anak ini selalu menjawab terus kalau diberitahu. Kenapa WhattsApp-mu tidak aktif juga? Kehabisan kouta?”
“Ya, kehabisan kuota tadi pagi. Tolong, diisikan nanti, Kak,” pinta Varrel. Kalau ada kesempatan sedikit, dia memang langsung gerak cepat.
“Kok, cepat banget habisnya. Boros banget!” gerutu Arsil. “Ya sudah, nanti kalau Kakak pulang. Bilang pada Mbok Nah, tolong kepala Mama dikompres dengan air hangat. Kalau sudah siuman, beri minum teh hangat. Diingat baik-baik pesan dari Kakak. Jangan cuma bilang, ‘Ya, ya’ saja, dikerjakan pun tidak.”