Selesai salat Asar, Arsil beranjak ke dapur. Makan oseng kelakai dan tuup jelawat yang telah dihangatkan dengan lahap. Dia sampai nambah makan hingga beberapa kali.
Dia benar-benar menikmati rasa masakan itu.
Selesai makan, dia langsung pergi ke kamar belakang, menemui ibunya.
Ibunya sedang menyeruput teh hangat di atas kasur dengan tubuh yang terlihat lemah. Sesekali, terdengar rintihan kesakitan yang meluncur dari bibirnya.
“Assalaamu’alaikum, Ma,” ucap Arsil lirih.
“Wa’alaikumussalaam. Kapan datang, Sil?” tanya Ibu Tria sambil memperbaiki posisinya, mau duduk tegak. Namun, ekspresi mukanya terlihat meringis menahan sakit.
“Tadi, Ma, waktu azan Asar. Mama kenapa bisa sampai jatuh?” tanya Arsil balik sambil mencium tangan Ibu Tria.
“Terpleset saat mau keluar kamar mandi. Tekanan darah Mama tinggi lagi. Jadi, kepala sedikit pusing,” jelas Ibu Tria sambil menggenggam tangan putra sulungnya. Dia merasa sangat senang akhirnya bisa berjumpa kembali dengan anaknya itu. “Alhamdulillah sekarang sedikit baikan. Cuma pinggang Mama masih terasa sakit banget kalau digerakkan. Mungkin keseleo. Siapa yang memberitahumu kalau Mama jatuh?”
“Tadi Varrel menelepon. Rencananya tadi mau langsung ke sini begitu ditelepon. Namun, di sana tadi hujan deras. Mana harus menunggu pesanan makanan yang tak kunjung datang. Mau dibatalkan, kok, kasihan. Takutnya sudah dibeli, nanti orangnya rugi. Terus, merasa kecewa dan jera karena sudah membantuku,” jelas Arsil. “Ayah mana, Ma? Dari tadi, kok, tidak kelihatan?”
“Ayahmu lagi ke rumahnya pak RT, dari tadi pagi belum balik-balik. Katanya, sih, mau membahas tentang corona. Yang bukan warga sini dilarang masuk. Jika ingin tetap masuk, harus dikarantina dulu selama empat belas hari di balai.”
“Bagus itu, Ma, supaya masyarakatnya bisa disiplin dan lebih berhati-hati,” sahut Arsil.
“Begini maksudnya. Soalnya, di kompleks sebelah satu keluarga positif terkena corona setelah menerima kedatangan kerabat yang datang dari Jawa. Tidak mau kecolongan maka pihak warga kompleks sini membuat aturan itu. Nanti kamu pun tidak bisa lagi leluasa datang kemari. Harus lapor dulu.”
“Ya, tidak apa-apa, Ma. Aku ikut peraturan yang ada saja demi kebaikan bersama. Soalnya, korban yang meninggal karena terinfeksi corona juga semakin banyak. Terus yang terkonfirmasi pun terus membludak. Rumah sakit kewalahan menampung. Apalagi, sekarang sakit kepala, flu, dan batuk sedikit saja langsung dicurigai terkena corona. Membuat masyarakat takut dan was-was,” jawab Arsil.
“Makanya itu, Mama juga takut sekarang. Soalnya, kalau ada apa-apa, nanti dikira terkena corona juga. Makanya, tadi saat Varrel mau membawa ke rumah sakit, Mama tidak mau.”
“Buat apa dibawa ke rumah sakit segala? Di sana juga nanti yang menangani pasti aku. Buang-buang duit, waktu, dan tenaga saja. Lagian, nanti siapa juga yang menemani Mama di sana? Aneh-aneh saja Varrel ini!” sambung Arsil sambil tertawa.
“Itulah adikmu, Nak. Cocok juga dengan si mbok. Mau-maunya disuruh menyiapkan tas buat keperluan selama di rumah sakit. Jengkel Mama dengan polah tingkah mereka berdua. Makanya, Mama suruh keluar kamar. Toh, Mama sudah baikan.”
“Oh, begitu. Pantas saja tadi Varrel nanya aku sudah sampai di mana terus. Waktu sampai di sini, eh, dia malah berkilah sedang mengerjakan tugas. Nggak bilang kalau disuruh keluar ruangan oleh Mama,” jelas Arsil. “Aku lihat, Mbok Nah juga ada di dapur. Padahal, tadinya kata Varrel, lagi menjaga Mama.”
“Mama cuma tidak habis pikir dengan tingkah mereka. Memang dikira enak apa dirawat di rumah sakit? Sudah tahu, Mama paling malas ke rumah sakit. Pada saat normal saja terkadang pelayanannya kurang optimal, apalagi dalam kondisi seperti ini.”
Arsil tertawa mendengar omelan ibunya. Bertentangan dengan dirinya, sang ibu memang tak begitu suka aroma rumah sakit. Makanya, dia maklum jika ibunya ingin dirawat di rumah. Namun, sepertinya Varrel belum paham mengenai hal itu. “Ya sudah, nggak usah dipikirkan lagi, Ma. Biar tidak menjadi beban. Nanti malam aku panggilkan tukang pijat. Aku mau balik ke kamar dulu, ya, Ma. Mau mengisi baterai ponsel, sudah tinggal lima persen.”
“Ya, jangan lupa ditutup kembali pintunya. Terus, bilang pada Mbok Nah buat makan malam, lauknya beli saja. Tidak usah memasak karena Mama nggak bisa membantu,” jawab Ibu Tria.
“Ya, Ma.”
Arsil keluar, langsung menuju kamarnya. Terburu mengambil charger ponsel di dalam tas sebelum mati total. Disambungkannya ke stop kontak terdekat. Setelah itu, baru dia mencari keberadaan Mbok Nah di halaman belakang.
***
Cuaca malam terasa sangat panas. Terlihat di langit tak satu pun bintang menampakkan diri. Embusan angin terdengar kencang, mematahkan beberapa ranting pohon ketapang.
Tak sampai di situ, beberapa warga berteriak-teriak panik karena seng atap rumah terlepas. Sesekali, hentakan petir terdengar menggelegar, bak ledakan bom yang dihunjamkan ke bumi. Benar-benar mengerikan!
Dalam hitungan menit, hujan turun dengan lebat.
Suhu tubuh Ibu Tria mendadak panas tinggi. Mungkin efek karena habis jatuh sesiang tadi.
“Sudah minum obat, Ma?” tanya Bapak Rizwan sembari membantunya duduk bersandar di sebuah bantal.
“Sudah tadi. Namun, masih pusing. Pinggang Mama sakit, ditambah pegal sehabis dipijat tadi,” jawab Ibu Tria sambil meringis.
“Kita pindah ke kamar utama saja, ya. Di sini sempit soalnya. Kalau mau apa-apa, susah bangunnya,” ajak Bapak Rizwan.
“Terserah Ayah saja. Namun, siapa yang mau membantu mengangkat Mama? Pinggang sungguh-sungguh sakit. Mana kepala pusing! Bergerak sedikit saja, sudah terasa sekali sakitnya,” keluh Ibu Tria.