CORONA DITANGAN MANUSIA

Rizal Azmi
Chapter #13

BAB 13 SOSIAL DISTANCING

“Ribut lagi! Yang dibahas dari kemarin itu-itu saja,” gumam Varrel pada diri sendiri. Dia tengah berada di dalam kamarnya. Namun, suara orang bercakap-cakap sangat kencang terdengar di luar. Dia sampai harus menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan bantal. “Huh, mengganggu tidur siang orang saja!” umpatnya lagi.

Di ruang tamu, ayah dan ibunya semakin ribut memperdebatkan kebijakan pemerintah yang akan menerapkan sosial distancing berskala besar.

“Sudah virus menyebar luas begini, baru mau menerapkan itulah, inilah. Tidak boleh berada di keramaian. Jam berdagang dibatasi. Keluar rumah dilarang jika tidak penting. Terus, rakyat mau makan apa? Nanti menganggur, tidak dapat duit. Padahal, menganggur itu membuat stres dan meningkatkan rasa lapar,” jelas Ibu Tria panjang lebar.

“Ya, Ayah juga tahu. Namun, kita tidak bisa menyalahkan pemerintah. Kalau mau cepat selesai urusannya, harus sama-sama mau mengatasi. Program yang diterapkan pemerintah saat ini sudah benar dan tepat,” sambung Bapak Rizwan.

“Tepat apanya? Coba saja Ayah pikir! Indonesia ini negara kepulauan di mana persebaran pulau dari ujung ke ujung sangatlah banyak. Seharusnya jika ingin lebih efektif, pemerintah langsung saja menerapkan lockdown pada suatu pulau yang pertama kali terinfeksi corona. Menutup semua akses dari sana. Sebab, ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut begitu saja, yang membuat pulau-pulau lain ikut terkena dampak dan terjamah corona. Bingung Mama dengan pola pikir pemerintah saat ini! Mereka kalau diminta diam di rumah enak sebab semua serba ada dan lengkap. Terus, bagaimana dengan nasib rakyat kecil? Mau makan pasir?”

“Tugas pemerintah itu banyak, Ma. Tidak hanya mengurus corona saja. Yang diurus banyak hal dan untuk jutaan manusia. Mereka memiliki seribu akal untuk melakukan apa pun yang diinginkan. Dijaga di bidang ini, di sektor sana bobol. Ditutup persoalan di sana, ada masalah di tempat lain lagi. Apes banget pokoknya! Namun, rakyat hanya bisa nyinyir,” jawab Bapak Rizwan.

Dalam kamar, Varrel semakin kesal saja. Tidur siangnya terganggu. Sedangkan, ayah ibunya semakin berisik karena menaikkan volume suara saat tengah berdiskusi panjang lebar.

Jam di latar belakang sudah menunjukkan pukul dua sore. Waktunya beristirahat tinggal sedikit lagi.

*** 

Dengan muka cemberut, Varrel keluar dari kamar, menghampiri ayah dan ibunya.

“Makanya, Ayah dan Mama jangan menonton televisi selama corona. Nanti kalau lihat berita tentang inilah, itulah, jatuhnya malah berdebat kusir. Seperti tidak ada kerjaan lagi,” omel Varrel sambil mematikan televisi di hadapan.

“Beritanya belum habis, Varrel! Hidupkan lagi,” perintah Ibu Tria. “Mama mau menonton berita, melihat suasana daerah lain,” lanjutnya lagi.

“Nggak usah, Ma. Nanti ribut lagi. Dari kemarin ribut melulu perasaan. Nanti dikira ada apa sama tetangga. Malu!” jawab Varrel. Dia langsung duduk di sofa, di tengah ayah dan ibunya. “Kok, bisa, ya, Ayah sama Mama jadi suami istri? Padahal, bawaannya ribut melulu perasaan. Menonton berita saja sampai ribut. Aneh, tetapi nyata.”

“Hush, tidak boleh ngomong seperti itu pada orang tua. Kualat nanti kamu!” tegur Ibu Tria.

“Dapat pelajaran dari mana kamu bisa ngomong seperti itu? Ayah dan Mama tidak pernah mengajarkan kamu untuk bersikap seperti itu. Sudah dijelaskan di mana-mana bahwa rezeki, jodoh, dan maut itu hak prerogatif Tuhan. Kita manusia tidak mampu menjamah ranah itu. Terlalu tinggi dan luas,” sambung Bapak Rizwan.

Varrel hanya diam. Kini dia yang terkena omelan akibat ulahnya sendiri sebab telah lancang ngomong di luar batas etika yang seharusnya.

“Asal kamu tahu, ya, Rel. Ayah dan Mama memang sering meributkan hal kecil. Hal-hal sepele pun selalu diperdebatkan, tetapi itu hanya sebatas karena beda pendapat. Ayah dan Mama tidak pernah sampai bertengkar hingga baku hantam, adu fisik. Sama sekali tidak pernah. Sedangkan berdebat karena berbeda pendapat itu wajar. Namanya juga dua pikiran.” Bapak Rizwan menasihati Varrel dengan bijak. Karena, tampaknya sang putra bungsu belum paham perbedaan bertengkar dengan berdebat.

“Satu hal lagi yang harus kamu ketahui, Nak. Semarah-marahnya Ayah atau Mama karena suatu permasalahan yang terlalu alot penyelesaiannya, Ayah dan Mama tidak pernah sampai tidur beda kasur atau beda kamar. Apalagi, sampai keluar rumah. Na’uuzubillahi min zalik, Ya Allah, kalau sampai itu terjadi. Ayah dan Mama tetap satu kasur meskipun tidur saling membelakangi, tidak apa-apa karena itu hanya sesaat. Sebab, jika pertikaian politik rumah tangga sampai harus terdengar keluar rumah, salah satu minggat, apa-apa kabur, tunggulah tanggal kehancurannya. Secara tidak langsung, orang ketigalah yang akan ikut menyelesaikan permasalahan tersebut. Maka, seluruh rahasia politik rumah tangga akan diketahui mereka. Ingatlah baik-baik selalu akan itu. Nanti suatu saat kau juga akan memimpin rumah tanggamu sendiri,” jelas Ibu Tria.

“Lho, kok malah ke sini larinya? Aku masih muda, Ma. Perjalanan masih panjang!” Suara Varrel sedikit meninggi.

“Anak-anak zaman sekarang kalau diberi tahu, sukanya menjawab terus. Orang tua ngomong sebait, anak malah mencerocos sampai beberapa paragraf. Jika sudah kejadian, baru bilang, ‘Enggih, Ma. Benar kata Mama.’ Makanya, kalau dinasihati orang tua itu diam, didengarkan. Nanti jadi kebiasaan.” Ibu Tria agak naik pitam. Nada suaranya malah lebih tinggi dari Varrel.

“Lha, Mama, sih, malah nyambung ke masalah rahasia pernikahan segala. Lagi membahas corona, malah berujung pada cara berumah tangga yang baik. Kan, aku belum nyambung,” jawab Varrel membela diri.

Lihat selengkapnya