Hujan tak jua beranjak sejak semalam. Tak ada tanda-tanda hendak reda meski sejenak aja. Embusan angin begitu menusuk ke tulang, membuat semua yang terlelap di balik selimut semakin enggan bangkit.
Suara alunan ayat suci Alquran terdengar samar karena kalah dengan derasnya air hujan menimpa bumi, tanda sebentar lagi azan Subuh akan tiba. Dengan ikhlas, manusia beriman bangun, beranjak dari kasur karena waktunya menghadap Allah telah tiba. Mereka segera berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, mengambil wudu sebelum melakukan kewajiban yang berupa salat Subuh dua rakaat. Sebuah pengakuan diri bahwa kita adalah manusia biasa yang tak bisa terlepas begitu saja dari genggaman dan kendali kuasa Allah.
Bukannya reda, hujan malah semakin deras mengguyur bumi. Suara petir semakin menggelegar, menghantam tanah di bawahnya. Membuat aktivitas banyak yang terganggu.
Jalanan terlihat lengang dan sepi. Tak banyak orang yang sudi berkeliaran dalam keadaan seperti itu. Hanya satu, dua orang saja yang tampak berjalan melintasi derasnya hujan. Mereka terpaksa melakukannya karena faktor ekonomi. Hujan maupun panas tetap harus ditempuh demi secercah uang penghasilan.
Varrel sedang mengaji di ruang tengah. Sedangkan Ibu Tria, duduk di meja makan mendengarkan tausyiah dari Ustadz Maulana ditemani Mbok Nah yang mencuci piring di dekatnya.
“Ya Allah, Mbok. Perekonomian saat ini semakin kacau saja. Harga sembako dan lauk pauk semakin mencekik leher, terutama ayam. Sudah keadaan kritis dan mencekam begini, barang serba mahal pula.” Ibu Tria mendumel sendiri.
“Ya, Bu. Sekarang memang apa-apa serba mahal. Mencari uang makin susah, tetapi kebutuhan terus meningkat. Belum lagi, kebutuhan lain yang tak terduga,” sahut Mbok Nah.
“Saya bingung kenapa bisa seperti ini, Mbok. Pemerintah semakin tak berpihak kepada rakyat kecil. Mereka tak merasakan bagaimana sulitnya mencari uang, sukarnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya diterpa derasnya hujan, dingin yang menusuk tulang, atau terbakar panas di bawah mentari. Mulai dari pagi hingga sore hari harus terpanggang di bawah sengatannya demi mencari sesuap nasi. Mereka tak merasakan semua itu karena kerjanya hanya duduk di atas kursi, mencoret-coret sesuatu, selesai langsung pulang. Bahkan, sering mangkir dari kantor selama satu bulan. Sekarang saya tak percaya lagi dengan yang namanya pemerintah. Mereka pembohong besar!” umpat Ibu Tria.
Varrel yang telah selesai mengaji, langsung nimbrung dari ambang pintu ruang makan yang berbatasan dengan ruang tengah. “Mama tidak boleh menyalahkan pemerintah. Sebab, yang diurus mereka itu luas. Tidak hanya satu atau dua, tetapi beribu-ribu persoalan.” Varrel mengutip kata-kata sang ayah yang sering diperdengarkan kapan pun. “Tekanan demi tekanan datang, silih berganti. Gejolak dari luar menekan, sedangkan dari dalam mendorong semakin kuat. Kita hanya bisa menilai dan melihat dari balik layar, tetapi tidak tahu pada kenyataannya yang terjadi di lapangan. Jangan membiasakan diri tergiring pada opini negatif. Nanti akan berdampak buruk dan bisa menjadi fitnah berjamaah.”
“Namun, memang kenyataannya seperti itu, kok. Corona makin banyak, tetapi pemerintah malah mau mengadakan pemilu. Katanya, dilarang berkumpul dan berkerumun. Sekolah saja ditutup. Bahkan, sampai banyak masjid yang tidak berani menyelenggarakan salat Jumat karena mengikuti imbauan pemerintah. Kita masyarakat menurut saja, tetapi malah pemerintah sendiri yang melanggar,” sahut Ibu Tria semakin meninggi. Dia tak suka pendapatnya ditentang begitu saja.
“Tidak semua salah mereka, Ma. Mereka pun dalam mengambil keputusan sudah memikirkannya matang-matang. Tidak semudah itu menyelesaikan segala persoalan yang ada. Teorinya memang mudah diucapkan, tetapi praktiknya jauh berbeda,” jawab Varrel lagi.
“Kamu ini belum mengerti apa-apa tentang politik. Jangankan membahas politik, duit saja masih meminta orang tua!”