Corona telah mengancam sendi kehidupan dunia. Seluruh sektor di berbagai bidang lumpuh secara perlahan, tetapi pasti. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol, babak belur dihajarnya tanpa ada ampun. Zona resisi tidak bisa lagi dihindarkan.
Sebelum pandemi corona mewabah sampai ke daratan Amerika, salah satu presiden di benua Amerika dengan pongahnya mengatakan bahwa corona tak mungkin sampai ke sana. Jika pun sampai terpapar, penanganannya sangat mudah. Sebab, menurutnya, Tiongkok itu salah penanganan dan tidak memiliki kesiapan yang matang sehingga banyak korban harus berjatuhan. Pernyataannya diliput di sebuah media massa kala itu.
Kini, negara yang dipimpinnya tumbang. Bahkan, tercatat sebagai negara yang terpapar pandemi corona nomor wahid di dunia. Tidak tanggung-tanggung, sejuta lebih rakyatnya terpapar. Dengan jumlah yang meninggal lebih dari 56 ribu jiwa. Parahnya lagi, hal tersebut belum final.
Amerika Serikat telah terjatuh. Berbagai upaya dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran corona, tetapi belum mendapatkan hasil. Bahkan, negara adidaya itu dengan lantang mengatakan bahwa WHO sebagai organisasi kesehatan dunia sangat lambat dalam menyikapi kejadian di Wuhan, Tiongkok. Seakan-akan, sengaja menutupi kasus hingga corona menjadi mengganas seperti saat ini.
Allah telah menegur kita atas semua kesalahan. Dia tak ingin kita berlarut-larut dalam perbuatan yang membuat jauh dari diri-Nya. Mungkin kita sempat terlupa bahwa hidup butuh Tuhan untuk memperoleh ketenangan dan kedamaian sejati. Sehingga, seakan-akan telah mampu berdiri tanpa bantuan Tuhan yang mengawasi dan menolong. Kita terlalu egois dan congkak. Karena, merasa tercipta berbeda dari makhluk lain. Berakal dan punya rasa.
***
Terkadang dalam hidup kita tak pernah mau mengambil hikmah dari setiap kejadian yang ada. Mata seakan buta menyaksikan. Mulut bungkam, tak berani membela. Kepintaran tak digunakan untuk mendamaikan hati. Malah, media sosial menjadi penghasut utama. Belum lagi, banyaknya haters dan kaum toxic yang bermunculan di jagad maya.
Durasi hidup ini amatlah singkat. Hingga suatu waktu, pandemi corona ini menjadikan umat Islam dilarang untuk mengunjungi rumah Allah, yakni kakbah al-mukarramah. Juga Masjid Nabawi yang merupakan tempat peristirahatan kekasih-Nya.
Hampir satu bulan lebih rumah-Nya tak boleh dikunjungi. Tak ada yang diperkenankan melakukan ibadah umrah. Tak ada tawaf dan sai. Bahkan, salat di sana pun hanya diperbolehkan untuk para petugas penjaga tempat paling suci di dunia itu. Sejengkal tanah dari surga.
Pernahkan kita merenung? Ada apa sebenarnya ini hingga Allah menetapkan ketentuan-Nya?
Para tim medis berjuang keras atas persoalan pandemi corona yang semakin merajalela. Mereka mengorbankan semua demi raga orang lain. Sejatinya mereka pahlawan kemanusian tanpa identitas dan piagam pengakuan. Haruskah pahlawan sejati tak diapresiasi dan tak diberi pengakuan?
dr. Arsil benar-benar tak menyangka, corona sulit dijinakkan. Namun, harus bagaimana lagi? Dunia mengalami hal serupa.
Jutaan manusia yang menjadi korban corona mengalami keterpurukan. Kejadian yang menjadi catatan sejarah setiap negara di dunia.
Kapankah pandemi ini akan berakhir? Sebab, sampai saat ini vaksinnya saja belum ditemukan. Hingga para peneliti dunia sibuk memikirkannya. Juga berpikir mengenai solusi apa yang kira-kira baik untuk memperlambat penyebaran virus mematikan tersebut, selain melakukan lockdown. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) adalah jalan terbaik. Masyarakat harus di rumah saja.
“Kita merupakan harapan terbesar mereka. Tempat terakhir mereka bergantung. Sebab, hari ini atau esok hari, entah mereka masih bisa bernapas di dunia ataukah tidak. Mereka tak bisa berbuat banyak tanpa dukungan dari orang lain. Kita merupakan perantara-Nya dalam menolong sesama,” ucap dr. Farhan Abigael bijak.
dr. Arsil dan beberapa perawat hanya menarik napas panjang, tak tahu harus menjawab apa. Beberapa dari mereka, tampak menyapu buliran air mata yang mulai berjatuhan di pipi.
Namun, dr. Arsil terlihat tegar. Tak sedikit pun rembesan air mata mencuat di kedua mata. Sebagai lelaki Indonesia pada umumnya, dia sudah terbiasa tak menangis di depan umum. Meski, rasa sesak di dada, menggelayut begitu hebat. Terasa menusuk hingga ke ujung paru-paru.