Suara sirine ambulan membuyarkan lamunan tim medis.
dr. Farhan Abigael langsung keluar tergesa menuju ruang UGD yang berada di lantai bawah. Disusul beberapa perawat yang ikut berlari tergopoh-gopoh, menyusul di belakangnya.
Mereka terkejut, melihat ambulan yang datang lebih dari tujuh buah.
Tim satgas covid-19 berlari keluar, mengambil brankar. Dengan sigap, mereka membantu mengawasi para pasien yang dinyatakan positif corona berdasarkan hasil tes. Ternyata satu kampung yang terpapar serempak.
“Mas, tolong letakkan mereka di Ruangan Cempaka, di kamar paling ujung!” perintah dr. Farhan.
“Enggih. Akan segera kami hubungi pihak perawat yang ada di sana,” sahut seorang perawat yang tengah mendorong salah satu brankar dengan langkah tergesa.
dr. Arsil terdiam, menyaksikan semua itu dari jendela pintu balkon ruang istirahat tim medis. Menatap para perawat yang memindahkan pasien satu persatu ke brankar. Tanpa disadari, dia meneteskan air mata. “Ya Allah, semakin banyak yang terpapar corona,” gumamnya pada diri sendiri. “Innalillahi wa innailaihi rajiun.”
***
Sebagian tim medis semakin bingung dengan jumlah pasien yang datang. Sebab, setiap hari semakin banyak dan mulai tak terkontrol jumlahnya. Alat pelindung diri yang tersedia sudah habis. Di sisi lain, semua harus terlindungi dan tertangani dengan baik.
dr. Arsil terdiam, tertunduk sambil berkomat-kamit sendiri, mengucapkan sesuatu. Wajahnya terlihat sangat lelah. Namun, dia terus berusaha untuk menyembunyikannya agar terlihat tenang dan kuat di mata pasien dan rekan medis lain. Demi ibu pertiwi, dia harus memberikan motivasi dan semangat untuk yang lain. Jika dia terlihat kuyu, para pasien dan rekannya pasti juga akan ikut terdampak auranya.
Beberapa perawat terlihat keluar ruangan. Mereka hendak membantu penanganan pasien yang baru saja datang hari itu. Sedangkan dr. Farhan yang baru masuk ruang istirahat, langsung mengajak dr. Arsil keluar buat menemani bertugas.
“Dokter tidak merasa lelah, kan?”
dr. Arsil hanya terdiam, tak menjawab.
Baru ketika sampai di Ruang Cempaka, dr. Arsil akhirnya membuka suara. “Ini pasien dari mana saja, Dok? Jumlah pasien yang masuk ke sini hari ini ada berapa orang?”
“Ini semua kiriman dari kabupaten tetangga. Ada sekitar 19 orang. Mungkin mereka lebih dekat dirujuk ke sini daripada ke rumah sakit yang ada di sana. Tadi juga sudah dihubungi pihak satgas covid-19 di sana terkait masalah ini.”
dr. Arsil menatap para pasien yang terbaring lemah di brankar. Dia langsung memeriksa keadaan mereka sebelum meminta para perawat untuk mengambil sampel darah agar dibawa ke laboraturium.
***
Hari ini mereka yang terpapar bak dedaunan kuning yang berguguran diterpa angin. Berjatuhan, tanpa kendali dan persiapan matang oleh rumput yang dijatuhi lembarannya. Seolah dengan bangga, angin melakukan semua itu. Seakan-akan tak melakukan kesalahan sedikit pun telah menjatuhi rerumputan. Sebab, angin hanya menjalankan tugas yang diperintahkan untuknya.
dr. Arsil selalu setia menulis di buku harian setiap usai memantau pasien yang baru tiba di kamar isolasi.
Tindakan pembatasan sosial berskala besar sudah sangat tepat diambil. Sebab, corona semakin lincah tanpa kendali. Namun, semuanya tak bisa serta-merta berjalan mulus. Karena, yang diatur adalah ribuan, bahkan jutaan manusia yang berbeda pikiran dan pemahaman.
Raja alam telah menundukkan diri di ufuk barat. Perlahan-lahan mohon pamit untuk beristirahat sejenak setelah seharian penuh bertugas menyinari bumi. Langit jingga terpampang dengan indah, seolah berperan sebagai penutup pentas kegiatan. Suara berbagai burung terdengar lembut, bak senandung lagu yang diiringi musik klasik nan merdu.
Jalanan sepi, sangat sunyi. Hening. Senyap. Tak ada yang menyaksikan atraksi yang disuguhkan alam. Berbeda halnya dengan di rumah sakit. Para tim medis dibuat super duper sibuk. Antara takut, berani, terpaksa, dan rasa sedih sedih yang bertumpuk dan menghunjam, bercampur baur menjadi satu. Namun, semua proses itu harus tetap dilaksanakan.
***
Ibu Tria sudah bosan berada di rumah. Dia sudah berusaha untuk selalu mengikuti anjuran pemerintah dengan mencari barbagai kesibukan di rumah, tetapi tetap nihil. Semua itu membuatnya tidak betah. Apalagi, jika keluar tanpa ada kepentingan yang jelas, selalu disuruh pulang kembali. Membuat dirinya semakin tidak tenang.
“Stay home! Jaga jarak. Jaga kesehatan,” gerutu Ibu Tria.
Corona semakin misterius. Dia bisa datang kapan saja dan di mana saja. Dia menyerang tanpa tebang pilih dalam menempelkan diri. Seolah-olah corona adalah malaikat pencabut nyawa. Celakanya, corona menghancurkan semua sendi-sendi negara. Menjadi ancaman serius saat ini.
“Kenapa belum tidur, Ma?” tanya Varrel keheranan, melihat ibunya dengan Mbok Nah duduk di ruang tamu berdua sambil menjahit baju.
“Ini lagi menjahit baju kakakmu yang kemarin sobek terkait paku. Lagian, kamu ada-ada saja, pakai baju kakakmu pas membantu memindahkan Mama ke ruangan lain.”