Beberapa negara di dunia memilih untuk melakukan lockdown sebagai jalan terbaik untuk memutus mata rantai penyebaran corona. Korban yang berjatuhan dalam hitungan detik tak terelakkan lagi jumlahnya, bak dedaunan kering yang berjatuhan, menyerpih tertiup angin.
Para tim medis di seluruh dunia merasa kewalahan. Sebab, sebagai garda terdepan dalam memerangi virus ini, mereka harus bekerja lebih ekstra dengan nyawa sebagai taruhan. Corona semakin brutal dan menjadi-jadi. Dalam hitungan bulan, dunia lumpuh dibuatnya.
dr. Arsil Zaid semakin sibuk. Jam sudah menunjukkan pukul dua sore hari. Dari pagi tadi dia belum istirahat sedikit pun, selain pada saat jeda salat Zuhur dan makan siang. Hal itu disebabkan pasien yang terpapar semakin banyak.
Melihat keadaan seperti itu, dr. Arsil hanya terdiam, membisu. Dia terus tertunduk sembari mulut berkomat-kamit membaca istigfar. Matanya terlihat berkaca-kaca. Namun, berusaha keras ditepisnya. Dia tak boleh terlihat menangis di depan pasien dan rekan seprofesi.
Semangat dr. Arsil yang terkadang mengalami pasang surut bisa semakin kuat ketika melihat para pasien saling memberikan dukungan satu sama lain.
“Allah akan membalas semua perbuatan dan niat baik para doker. Kita sama-sama telah diberi ujian atas semua ini. Tidak apa-apa, kok. Semua pasti segera berlalu. Segalanya akan baik-baik saja,” ucap seorang pasien positif corona yang berada tidak jauh dari tempat dr. Arsil berdiri.
dr. Arsil merasa takjub mendengarnya. Bibir mengulas segurat senyum yang dipaksanya terlihat setegar mungkin di hadapan pasien. Semangatnya sedikit banyak jadi ikut meninggi mendengar motivasi tersebut. Dia bertambah yakin bahwa corona bisa ditaklukan. “Saya sangat senang mendengar semangat dari bapak-bapak di sini yang tak pernah goyah sedikit pun.”
“Wah, itu memang harus, Dok. Sebab, anak istri di rumah sudah menunggu dan berharap penuh pada kepulangan kami. Jadi, dengan bersikap optimis, insya Allah semua akan baik-baik saja,” sahut bapak-bapak paruh baya itu lagi.
Di lain pihak, pemerintah masih memandang sebelah mata terkait penanganan corona. Tanggapan bapak menteri kesehatan terhadap masuknya corona, membuat tim medis dan para ahli kesehatan geram. Seakan-akan, segalanya bisa diselesaikan dengan mudah dan cepat, seperti membalikkan telapak tangan. Negara sekelas Amerika saja bisa terjatuh, apalagi Indonesia.
***
Dunia dibuat kacau seketika. Corona menyebar di mana-mana tanpa pengecualian antara negara maju, berkembang, atau miskin. Semua diserbu tanpa terkecuali.
Italia lumpuh. Negara produsen Lamborghini menjadi negara kedua yang mengalami porak-poranda setelah Tiongkok. Angka persentasenya mengalami kenaikan tajam. Italia bak negara penjemput maut bagi warganya sendiri setelah Tiongkok.
dr. Arsil dan dr. Kenzi terdiam menatap tayangan berita yang ada di televisi rumah sakit. Mereka saling melempar pandang sebelum keduanya secara tidak sengaja berbarengan membaca kalimat tauhid.
“Semoga keadaan di Indonesia tidak sampai separah itu, ya, Dok. Kasihan masyarakat yang menjadi korban,” ucap dr. Kenzi lirih.
“Aamiin, Ya Allah. Kita banyak-banyak berdoa saja, Dok, dengan saling membantu. Sebab, kita tidak tahu nanti ke depannya akan bagaimana,” sahut dr. Arsil.
“Enggih, Dok. Ngeri saya membayangkan kalau sampai terjadi lockdown. Ya kalau kaya, lha, kalau sebaliknya? Mau makan apa kita? Belum lagi biaya untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti sekolah anak dan tagihan listrik. Sedangkan, bantuan pemerintah banyak yang salah sasaran. Masa orang yang mampu bisa dapat, sedangkan yang miskin malah tidak terdata? Kan, aneh, Dok.”
“Begitulah, Dok. Dunia sudah tua. Tinggal menunggu waktu mengenai janji Allah bahwa kiamat pasti tiba. Keadilan dan kebersamaan mulai memudar, seiring dengan kemajuan teknologi. Budaya santun dan saling menghargai semakin menipis. Kita banyak kehilangan rasa hormat dengan orang yang lebih tua. Inilah salah satu dari sekian banyak cara Allah dalam menegur hamba-Nya.” dr. Arsil menanggapi keluh kesah dr. Kenzi yang mirip keluhan keluarganya di suatu waktu.