Satu persatu perusahaan menutup buku, mengembalikan para karyawan ke rumah masing-masing dengan beragam cerita. Ada yang memberikan pesangon, ada pula yang tidak. Isak tangis jutaan karyawan yang terdampak menggema di seluruh dunia, terutama karyawan yang bergerak di bidang pariwisata dan penerbangan. Semua luluh lantak, meninggalkan utang perusahaan yang tak sedikit jumlahnya.
“Lalu, siapa yang harus membayar utang tersebut? Itu bukan urusan kita. Memikirkan utang sendiri saja pusing, apalagi mengurusi utang orang lain yang jumlahnya tak terkira. Begitu juga dengan negara, utang yang ada saja belum lunas, eh, malah bertambah lagi lantaran corona. Kapan lunasnya? Makin bertumpuk, ya. Asal jangan sampai menjual pulau saja untuk melunasi utang kayak periode sebelumnya dulu. Bahaya, bisa makin hancur negara ini!” Seperti biasa, Ibu Tria selalu menceracau di awal pagi, sehabis mendengar berita.
“Ya, benar, Ma. Pengangguran makin bertambah, kriminal semakin merajalela. Berarti, lulusan tahun ini semakin kecil peluangnya mendapatkan pekerjaan,” timpal Varrel yang duduk berselonjor di depan televisi. Dia memang jarang duduk di sofa. Lebih suka di lantai agar merasa lebih santai.
“Jadi, kamu mau kerja apa melanjutkan kuliah?” tanya Bapak Rizwan sambil duduk di sofa di seberangnya. Dia baru saja datang dari halaman depan.
“Kuliah, dong!”
“Ya, sudah. Ngapain memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya dipikirkan? Suka sekali membuat diri sendiri pusing.” Bapak Rizwan langsung memindah channel televisi.
“Aduh, Ayah ini! Datang-datang malah memindah channel sesuka hati. Ramai yang tadi, Yah. Bosan menonton berita penghitungan jumlah pasien corona terus. Pasti corona. Apa-apa dihubungkan dengan corona. Yang tadi saja, Yah,” pinta Varrel karena acara lawak kesayangannya diganggu. Padahal, tadi juga dia sudah menonton berita corona bersama ibunya.
“Sudah, masih iklan juga,” sahut Bapak Rizwan santai. “Lebih baik menonton berita daripada melihat lawakan yang tidak berfaedah. Kalau menonton sesuatu itu yang bermanfaat biar ada hasilnya. Sudah tidak pergi ke sekolah, begitu membuka mata, bangun tidur, langsung main game. Nggak pagi, nggak siang, nggak malam, kerjaannya main game terus. Eh, nonton televisi, masih juga melihat hiburan. Kapan waktu belajarnya? Apa jadinya masa depanmu nanti?”
“Mana ada main game terus, Yah?” Varrel membela diri. “Kami sekarang sekolah lewat zoom. Kadang bisa via grup WhattsApp.”
“Ah, itu paling sebentar. Selebihnya lain cerita, entah apa yang ditonton.” Seperti orang tua pada umumnya di Indonesia, Bapak Rizwan tak percaya bahwa anaknya sungguh-sungguh melakukan sekolah melalui daring. Baginya, itu nyaris mustahil terjadi.
“Ayah ini sama saja seperti Mama. Makin suka mengomel. Sudah bosan diam di rumah, eh, kena marah terus lagi. Stres anakmu ini nantinya!” Varrel bersungut-sungut kesal sebelum beranjak berdiri, memilih hendak kembali ke kamar. Malas berdebat dengan orang tua yang nyaris gagap teknologi.