Akhir-akhir ini banyak tim medis yang mendapatkan perlakuan yang tak sepadan dengan pengorbanan yang mereka berikan. Mulai dari diusir hingga jenazah mereka ditolak saat mau dikebumikan di tanah kelahiran. Itu tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan hampir merata di seluruh dunia. Hal ini terjadi karena adanya kesalahpahaman informasi dan adanya provokator yang mengompori tanpa memandang pada sisi kemanusiaan dan jasa kebaikan mereka.
“Innalillahi wa innailaihi rajiun. Teganya, Ya Allah. Beratnya beban kita saat ini. Selain bertaruh nyawa, sering pula tidak dihargai,” ucap dr. Farhan ketika melihat dua orang perawat diusir dari kontrakan. “Tidak hanya diusir, mereka juga tak jarang mendapatkan cemoohan dari orang terdekat. Yang semestinya menguatkan, malah sebaliknya. Hal ini menjadi viral, seakan-akan pengorbanan mereka tak memiliki nilai dan makna yang kuat untuk dihargai.”
Mendengar tak ada yang mengomentari ucapannya, dr. Farhan berujar lagi, “Lha, Dokter kenapa? Pagi-pagi begini sudah melamun.”
“Tidak apa-apa, Dok,” sahut dr. Kenzi. Jujur, dia agak kaget saat dr. Farhan mendekat tiba-tiba, menepuk pundak demi membuyarkan lamunan.
“Sedang sakitkah, Dok? Kalau merasa sakit dan tidak enak badan, jangan dipaksakan. Bahaya! Apalagi, dalam masa pandemi begini. Lebih baik pulang saja, Dok. Beristirahat.”
“Saya tidak apa-apa, kok, Dok. Mungkin hanya sedikit kelelahan.” Melihat raut muka tak percaya yang terpancar di wajah dr. Farhan, dr. Kenzi melanjutkan ucapan, “Sungguh, Dok. Saya tidak apa-apa.”
"Kalau Dokter ada masalah, bercerita saja pada saya tidak apa-apa. Mungkin saja saya bisa membantu meringankan beban pikiran. Jangan dipendam sendiri dalam hati. Nanti jadi penyakit, bisa bahaya.” dr. Arsil menimpali dari kursi yang agak jauh di sudut.
dr. Kenzi terdiam sesaat lamanya. Tak menjawab, pun tak berkilah. Ekspresi mukanya berubah menjadi sedih seketika.
dr. Arsil bangkit, menghampiri dr. Kenzi sebelum berdiri di seberang mejanya, menatap mata sang dokter lekat. Membuat dr. Kenzi semakin tergeragap dan salah tingkah. “Ada apa sebenarnya, Dok?” tanya dr. Arsil keheranan.
“Kemarin malam teman di sebelah tempat indekos saya diusir,” sahut dr. Kenzi tanpa gairah.
“Teman Dokter diusir? Kok, bisa? Dia tidak bisa membayar sewa indekos atau bagaimana?” tanya dr. Farhan.
“Bukan, Dok. Soalnya, dia perawat yang bekerja di rumah sakit rujukan corona.”
“Hanya karena itu? Kok, aneh-aneh saja tingkah orang belakangan ini. Hanya lantaran dia seorang perawat dan bekerja di rumah sakit rujukan corona, lantas diusir? Berarti, benar berita yang saya dengar belakangan ini. Ada-ada saja manusia zaman sekarang. Mudah sekali mencari perkara. Tidak habis pikir saya dengan orang semacam itu.” dr. Farhan kesal mendengar penjelasan dr. Kenzi.
“Katanya, khawatir dia membawa virus dari rumah sakit. Nanti bisa menularkan ke warga sekitar dan yang punya indekos.”
“Innalillahi wa innailaihi raji’un. Memangnya kita ini penyebar virus apa? Ya Allah, ya rasulullah! Kok, bisa berburuk sangka seperti itu, sih?” dr. Arsil ikut kaget. Potongan roti dan segelas kopi yang dibawanya jatuh berceceran di lantai. “Terus, perawat itu sama sekali tidak membela diri?”
“Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Soalnya, ketika pagi hari waktu pulang ke tempat indekos, tahu-tahu barang-barangnya sudah dikeluarkan semua, berserakan di jalanan. Dia diminta cari tempat indekos lain saja.”