dr. Kenzi tetap terpaku beberapa menit lamanya dalam posisi yang sama. Bahkan, setelah dr. Farhan keluar ruangan. dr. Arsil sendiri hanya terdiam di mejanya, sibuk mempelajari berkas-berkas rumah sakit dalam beberapa hari terakhir.
“Lho, Dok, kok, cuma terpekur di sini? Bukannya tadi dianjurkan beristirahat sama Dokter Farhan? Beristirahat dulu saja, Dok. Biar nanti kalau giliran bertugas lagi, bisa segar kembali,” tegur seorang perawat yang berusia dua puluh limaan. Dia memasuki ruangan bersama seorang kepala perawat yang berusia sangat matang.
“Ya, ini juga mau beristirahat.”
“Pulang saja dulu, Dok, tidak apa-apa.” Melihat dr. Kenzi masih terhenyak dalam kediaman, perawat itu usil menggodanya, “Sebenarnya Dokter ini lagi sakit atau sedang ada masalah lain? Diputusin pacar, ya? Tenang, Dok. Di sini banyak perawat yang siap menjadi penggantinya.”
“Mana ada diputusin?” sahut dr. Kenzi sambil melirik malas. Dia paham maksud perawat yang masih tergolong belia itu. Apalagi, kalau sengaja menggoda untuk diri sendiri, bukan yang lain.
“Terus, kenapa Dokter sampai bad mood?”
Pertanyaan perawat itu tak kunjung mendapatkan jawaban hingga kepala perawat ikut menimpali, memberikan wejangan panjang lebar.
“Kita boleh merasa kesal, marah, kecewa. Itu manusiawi, Dok. Namun, semua harus diletakkan pada tempatnya. Tempatkan mana persoalan pekerjaan, mana urusan rumah, mana permasalahan yang dapat dibawa ke segala situasi. Sebab, jika disamaratakan, orang akan mudah tahu apa yang menjadi beban pikiran. Mereka akan mudah menghasut dan memengaruhi kita. Bagaimanapun, kita harus bersikap bijak dalam menyikapi segala kondisi. Apalagi, pada saat seperti ini. Perasaan orang-orang menjadi sangat sensitif. Nanti dikira ada apa. Bisa jadi Dokter dianggap malas mengemban amanah profesi. Jadi, belajarlah untuk sabar, ikhlas, dan jangan pernah berputus asa untuk berdoa.”
“Tuh, dengarkan nasihat dari kepala perawat, Dok. Beliau sudah banyak memakan asam garam kehidupan. Halang melintang dalam dunia persilatan bidang keperawatan,” canda dr. Arsil, seperti biasa jika keadaan sudah tampak canggung.
dr. Kenzi lagi tak sedang ingin bercanda meskipun aslinya dia tipe yang mudah bersosialisasi. Dihela napas panjang, diembuskannya dengan berat. Akhirnya, dia terpaksa membuat pengakuan di hadapan seisi ruangan daripada dituduh yang bukan-bukan. “Sebenarnya saya sangat takut, Dok.” Ditutup wajah dengan kedua tangan demi tak ingin melihat reaksi orang yang sedang diajak berbicara.
Tiga pasang mata yang ada di ruangan itu terdiam. Untungnya, tidak banyak dokter dan perawat yang berkumpul. Mereka sibuk berjaga, bergiliran. Sehingga, rahasia terdalam yang diungkapkan dr. Kenzi tak perlu diperdengarkan ke khalayak ramai.
Di lorong rumah sakit, gema suara beberapa keluarga pasien yang datang berkonsultasi, terdengar sampai ke dalam ruangan. Sesekali terdengar suara isak tangis orang yang berjalan lunglai di pelataran rumah sakit. Mungkin lantaran kondisi salah satu kerabat mereka yang keadaannya semakin memburuk. Sisanya hening.
Hampir sepuluh menit lamanya mereka berempat terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama, menunggu buliran kata selanjutnya yang hendak dilontarkan dr. Kenzi.
dr. Arsil merasa canggung dengan kesunyian itu. Tak tahu harus berbuat apa demi menghibur rekannya. Sedangkan, dia belum tahu pasti permasalahan apa yang tengah menggelayuti dr. Kenzi.
“Saya keluar dulu sebentar, ya, Dok. Mau mengambil sesuatu. Sekalian, mau membeli air mineral. Ada yang mau titip sesuatu?” tanya perawat berusia dua puluh lima yang berambut sebahu itu.
“Titip kacang dengan air mineral, ya. Tapi, jangan yang dingin, ya, Sus,” ucap dr. Arsil.
“Ada yang lain lagi?”
“Saya wafer tango saja,” sahut ibu kepala perawat.
“Mau minum apa, Bu Kepala?”
“Tidak usah, itu sudah cukup. Saya mau berhemat. Maklum, tanggal tua.”
“Ah, uang tidak berbunyi. Mana tahu Ibu Kepala Perawat dananya tebal atau tidak. Itu mungkin hanya alasan saja,” kelakar dr. Arsil.
Sang kepala perawat hanya tertawa tergerai mendengar gurauan dokter junior itu. Dilempar tumpukan kertas ke perawat juniornya demi mengatasi tawa yang tak ada ujungnya. Sebab, tak mungkin dia kurang ajar melempari dr. Arsil. Walau bagaimanapun, kedudukan dokter masih lebih dihormati daripada perawat.
“Benar, kan, apa kata saya, Dok?” tanya dr. Arsil sambil melirik dr. Kenzi yang masih saja terdiam, tak ikut tertawa. Padahal, ruangan itu sudah riuh sejak tadi.
“Ya, mana kita tahu isi dompetnya. Jika pun dompet kosong, isi ATM penuh,” sahut perawat muda sambil menoleh ke arah dr. Kenzi, berharap lelaki itu melihat juga ke arahnya. “Ya, kan, Dok?”
“Mana ada? Tagihan utang yang makin menumpuk, menunggu. Puyeng memikirkannya!” sambung ibu kepala perawat lagi.