Embun pagi masih membasahi dedaunan. Beberapa ranting pohon jatuh karena sudah rapuh. Dedaunan yang mengering pun berserakan di tanah, tertiup angin semusim. Kesegaran udara pagi merupakan nikmat Tuhan yang luar biasa dan sempurna.
Terlihat beberapa burung beterbangan di kejauhan. Sesekali, mereka hinggap di batang pohon mangga depan rumah sambil mengeluarkan siulan yang terdengar merdu. Sinar sang mentari mulai terlihat dari ufuk timur, perlahan naik dengan segala pancarannya.
Selesai salat Subuh, seperti biasa, dr. Arsil menyempatkan diri untuk melakukan push up dan loncat tali.
Hampir setengah jam lamanya dia berolahraga di depan teras. Setelah itu, langsung dihidupkan mobil untuk memanaskan mesin sambil mendengarkan musik. Dibersihkan bodi mobil dengan kain basah agar tak terlalu kotor.
Seseorang dari luar memanggilnya dari depan pagar.
“Permisi. Permisi, Pak.” Seorang pemuda tampak celingak-celinguk di depan pagar rumah dr. Arsil yang agak tinggi.
“Ya, tunggu sebentar,” sahut dr. Arsil sambil berjalan menuju pagar. “Ada apa, Mas? Ada yang bisa dibantu?” tanyanya sambil membukakan pintu pagar.
“Tagihan iuran sampah, Pak. Kemarin Bapak nggak ada,” jawab pemuda itu.
“Enggih. Kemarin saya kena giliran piket malam. Jam delapan pagi baru pulang. Berapa besar tagihannya?”
“Dua ratus lima puluh ribu, Pak.”
“Oke. Tunggu sebentar, Mas. Saya ke dalam dulu,” ujar dr. Arsil. “Masuk sini, Mas. Ditunggu di teras saja,” lanjutnya sambil berjalan masuk ke dalam.
“Tidak perlu, Pak. Biar saya menunggu di sini saja.”
***
Beberapa saat kemudian, dr. Arsil keluar lagi dari ruang dalam. Diserahkan uang ratusan ribu sebanyak tiga lembar kepada pemuda itu.
“Ambil saja kembaliannya, Mas.”
“Wah, jangan, Pak. Ini terlalu banyak,” tolak pemuda itu, merasa tak enak hati. Tidak biasanya dia mendapatkan imbalan sebesar itu. Meski warga di lingkungan situ ada beberapa yang tidak pelit, biasanya mereka hanya memberikan bonus lima ribu saja padanya.
“Tidak apa-apa. Diambil saja, Mas. Bonus.”
“Namun....”