CORONA DITANGAN MANUSIA

Rizal Azmi
Chapter #28

BAB 28 KABAR DUKA BAGIAN III

Diisolasi. Dikurung pada sebuah kamar selama berjam-jam tidaklah mengenakkan. Apalagi, jika sampai berhari-hari. Diam di rumah saja yang masih bisa beraktivitas seperti biasa, stresnya minta ampun, apalagi dikurung di ruang isolasi.

Lantas, bagaimana halnya dengan nasib para korban corona yang terpapar? Mereka harus melakukan perawatan super ketat di bawah kontrol para petugas medis rumah sakit agar tidak sampai menularkan virus kepada orang lain lagi.

Merekalah orang-orang hebat. Yang mampu bertahan di atas ketidaknyamanan tanpa banyak mengeluh, sedih, dan kecewa. Mereka sadar, harus berjuang untuk semuanya, demi masa depan dan orang tercinta, dan atas segalanya.

Begitulah yang dirasakan oleh dr. Kenzi bersama beberapa rekan perawat dan dokter lainnya. Mereka dinyatakan positif dan harus menjalani perawatan seperti yang lain dengan pengamanan tinggi.

Sesuatu yang tidak dapat dibayangkan dan selama ini ditakuti, kini telah ada di depan mata. Qadarullah. Semua adalah rahasia Allah yang sangat luar biasa. Karena, setiap kejadian yang terlewati adalah atas izin-Nya semata. Sebab, mungkin itulah yang terbaik dari-Nya bagi kita. Berharap, semua akan indah pada waktunya.

dr. Kenzi langsung menghubungi pihak keluarga. Dia meminta doa restu dan dukungan agar segera sehat kembali.

“Mohon doa dan dukungannya, ya, Pak. Semoga aku bisa segera pulih.”

“Ya, Nak. Pasti Bapak akan selalu mendoakanmu. Jangan terlalu dipikirkan. Banyak-banyak berdoa, serahkan semua pada Allah. Baca istigfar dan selawat yang banyak. Makan dan minumnya juga jangan lupa dijaga,” sahut ayah dr. Kenzi dari seberang telepon.

Enggih, Pak. Bapak juga jaga kesehatan, ya. Jangan banyak keluar rumah jika tidak perlu.”

“Ya, Nak. Kita sama-sama saling jaga diri saja. Ingat, Nak. Salat lima waktu jangan sampai ditinggalkan. Sesulit apa pun dan sesakit apa pun, itu hukumnya wajib dan tetap harus dilaksanakan.”

Enggih, Pak. Aku tutup telepon, ya. Mau mengabari orang tuanya Arsil. Soalnya, Arsil juga kena. Malahan, dia yang lebih parah kondisinya,” ucap dr. Kenzi.

“Innalillahi wa innailaihi rajiun. Semoga semuanya baik-baik saja, ya, Nak.”

dr. Kenzi menutup telepon diiringi ucapan salam.

Dicarinya nomor kontak Varrel yang ada di ponsel. Setelah dapat, langsung dihubunginya nomor itu.

Beberapa kali dihubungi, tetapi panggilan itu tidak tersambung juga. Ponsel Varrel tidak aktif.

dr.Kenzi memutuskan mengirimkan pesan lewat WhattsApp dan SMS.

Rel, hubungi aku segera. Penting!

*** 

Satu jam kemudian, dr. Kenzi kembali mencoba menghubungi Varrel. Namun, tetap sama. Teleponnya tidak kunjung terhubung. Dicoba menghubung Bapak Rizwan, juga sama saja. Hasilnya nihil.

dr. Kenzi bingung harus bagaimana lagi caranya mengabari keluarga dr. Arsil. Sedangkan jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam.

Karena kelelahan menghubungi nomor keluarga dr. Arsil, akhirnya dr. Kenzi tertidur. Tidak mengetahui kalau Varrel menelepon satu jam setelah itu.

***

Sudah beberapa hari ini perasaan Ibu Tria tidak enak, selalu kepikiran Arsil. Bahkan, sampai terbawa-bawa dalam mimpi. Sedangkan sebelumnya, beberapa hari lalu, Arsil melakukan video call dengannya, bilang kalau dia baik-baik saja.

Tidak usah dipikirkan. Doakan saja, semoga semua ini cepat selesai, ujar Arsil saat itu.

Namun, namanya seorang ibu, tetap saja selalu kepikiran meskipun anaknya sudah dewasa. Bagi seorang ibu, buah hatinya tetaplah seorang anak kecil yang membutuhkan perlindungan, pertolongan, dan penjagaan. Begitulah ibu, perasaannya sangat peka meskipun terpisah oleh jarak.

Seperti biasa, Mbok Nah menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Sedangkan Ibu Tria, duduk di meja makan sambil menyantap sepiring pisang goreng buatan Mbok Nah, hasil memanen di kebun sendiri tiga hari yang lalu.

Saat hendak menyeduh teh panas, tangan Ibu Tria tak kuat menahan panasnya gelas. Gelas itu terjatuh ke lantai menjadi serpihan.

Mbok Nah yang berada tak jauh dari lokasi jadi terkaget-kaget dengan suaranya yang nyaring. “Ya Allah, Ya Rasulullah, Muhammad utusan Allah,” ucap Mbok Nah refleks sambil bergegas menghampiri majikannya itu. “Kenapa, Bu? Ibu tidak apa-apa, kan? Apakah Ibu pusing?” tanyanya sambil memegang tangan Ibu Tria dengan lembut.

“Tidak apa-apa, Mbok. Cuma entah kenapa saya selalu kepikiran pada Arsil. Tadi malam saja sempat mimpi dia,” jawab Ibu Tria sambil bersandar lemah di kursi ruang makan.

“Ya Allah, Ya Rabbi, Ya Karim! Semoga Mas Arsil tidak kenapa-kenapa. Ibu mau dibuatkan teh lagi?”

“Tidak usah, Mbok. Saya mau balik ke kamar saja. Mau rebahan sebentar. Soalnya mendadak pusing. Tolong, pecahan gelasnya dibersihkan, ya, Mbok,” kata Ibu Tria sambil berjalan ke arah kamar utama.

“Baik, Bu.”

“Bersihkan saja dulu pecahan gelasnya, khawatir terinjak. Setelah itu, selesaikan saja pekerjaannya menyiapkan sarapan. Kalau sudah selesai semua, istirahat dulu saja, Mbok. Nanti ke pasarnya agak siangan atau beli sayur di depan saja, pada abang-abang yang biasa lewat,” jelas Ibu Tria melihat kebingungan yang tersirat di mata Mbok Nah. Maklum, Mbok Nah selalu kesulitan dalam menentukan skala prioritas dalam melakukan pekerjaan.

Mbok Nah mengangguk sebelum mengambil sapu dan pengki, bergegas membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai, membuangnya ke tempat sampah. Dipel lantai tersebut agar tidak licin hingga membuat tergelincir.

Bapak Rizwan sendiri tidak mengetahui kejadian di dapur tersebut. Dia tengah duduk santai di teras sambil mengaji.

Usai mengaji, diperhatikan burung kesayangannya yang sedang dijemur di depan teras. Sepasang kakak tua Bali yang lagi bercumbu, mau kawin.

“Sudah, cepat kawin sana biar segera punya anak,” gumam Bapak Rizwan sambil bersiul.

Sesekali, kedua burung tersebut menirukan bunyi siulan dan ucapan Bapak Rizwan. Membuat Bapak Rizwan semakin senang dan betah berlama-lama duduk di teras. Apalagi, sudah ada kopi panas dan pisang goreng yang tersedia di meja. Dua jam lamanya dihabiskan di teras pun terasa singkat rasanya.

*** 

Cuaca hari itu terlihat mendung. Sudah pukul delapan pagi, tetapi tidak tampak tanda-tanda matahari akan bersinar sempurna.

Seperti biasa, keadaan rumah sakit sama saja, tak memandang panas atau hujan, pagi, siang, sore atau malam, selalu ramai. Memang situasi paling ramai pasti di pagi hari. Karena, keluarga pasien banyak yang datang, mengurus administrasi di depan, terutama yang antre menggunakan BPJS. Sebab, pelayanan BPJS dibatasi jam. Hanya bisa melayani sampai pukul dua belas siang. Selebihnya, harus menunggu keesokan harinya lagi.

Lihat selengkapnya