Langit jingga berubah hitam. Matahari telah beristirahat dari tugasnya di kaki barat bumi. Sang rembulan perlahan-lahan menaiki singgasananya di langit malam. Gemintang satu persatu mulai bermunculan mengelilingi ratu malam, bak iring-iringan permaisuri.
Alunan ayat-ayat Illahi terdengar lembut mengalun. Menandakan salat Magrib telah usai, berjeda menuju Isya. Mengisi waktu untuk memuji kebesaran-Nya setelah siang bekerja mengais rezeki sesuai syariat-Nya.
“Uhuk. Uhuk. Uhuk.” dr. Arsil terbatuk-batuk hebat. Tenggorokannya terasa sangat gatal. “Salah makan apalagi ini hingga tenggorokan memberontak seperti ini. Perasaan tadi makan makanan seperti biasanya. Makanan yang disediakan rumah sakit. Namun, kenapa jadi begini?” omel dr. Arsil sebelum berlari ke wastafel karena batuknya semakin menjadi.
Semakin malam, semakin parah batuknya. Kepala sedikit pusing, mual, dan merasa demam. Lemas dan pucat di badan terasa bersatu.
dr. Arsil tak kuat lagi berdiri. Hingga terpaksa meminta bantuan perawat untuk mengambilkan kursi roda membawanya balik ke ranjang.
Kondisi dr. Arsil semakin memburuk. Wajahnya tampak semakin pucat. Tubuh melemah drastis. Dia tak mengira hari itu akan down lagi. Padahal, pagi tadi sudah mulai terasa membaik.
Lima menit kemudian, dr. Arsil tidak sadarkan diri, pingsan.
Perawat yang sedang menanganinya sontak terkejut. Bergegas dihubungi dr. Farhan, meminta izin untuk membawa dr. Arsil ke ruang ICU. Karena, keadaannya yang semakin memburuk.
***
Dengan cepat dan tangkas, tim medis memberikan pertolongan.
Pihak keluarga yang sudah datang sedari tadi dilarang menemani sebab kondisi dr. Arsil mirip dengan pasien corona. Mereka hanya bisa melihat semua kegaduhan itu dari jarak jauh.
Ibu Tria menatap putranya yang terbaring lemah di atas brankar dengan tatapan kosong. Sudut matanya tak lepas mengamati gerak-gerik perawat membawa putranya ke ruang ICU hingga menghilang di ujung pandang.
“Mungkin Kakak kelelahan akibat menangani pasien yang semakin hari, semakin bertambah,” kata Varrel menenangkan ibunya. Meski Ibu Tria tak berkata apa-apa, tampak kecemasan luar biasa yang membayang di isyarat tubuhnya.
“Ya, bisa jadi,” sahut Ibu Tria dengan suara lirih, tak berdaya. Seolah, seluruh tenaganya telah tersirap paksa, ikut lenyap bersama putra sulung ke ruang ICU.
***
Di dalam ICU, dr. Arsil terbaring lemah. Tubuhnya tak lagi memiliki tenaga untuk mampu bergerak sedikit pun. Mata terpejam rapat, tanpa bisa dibuka sedikit pun. Dia benar-benar lelah, tak berdaya.