CORONA DITANGAN MANUSIA

Rizal Azmi
Chapter #30

BAB 30 GUGURNYA SANG PEJUANG BAGIAN II

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat mereka sampai di rumah.

Ibu Tria masih belum berhenti menangis. Dia tak bisa menahan kesedihannya begitu saja. Sedangkan Bapak Rizwan memilih mengaji demi menghabiskan waktu. Mendoakan yang terbaik bagi anak sulungnya. Dia berusaha tetap tenang dan tegar menghadapi masalah yang dihadapi keluarganya saat itu.

***

Bagaikan terhunjam ribuan anak panah beracun, seluruh tubuh tak lepas dari bidikan. Persis seperti dicambuk tanpa ada jeda dan ampunan setelah mengetahui hasil pemeriksaan antigen dengan menggunakan usapan (swab). Hasilnya dr. Arsil positif terinfeksi virus corona.

Dunia semakin tak berdaya. Ribuan tim medis ikut terpapar. Setiap saat pahlawan kemanusian ikut berjatuhan. Tak sedikit dari mereka yang meregang nyawa. Sungguh sebuah pengorbanan yang harus dibayar sangat mahal!

Tim medis yang menggunakan alat lengkap dengan alat pelindung diri pun tak ada jaminan lolos dari keganasan covid-19. Corona memang tak memandang kasta. Kaya, miskin, pejabat, pemulung, dibantai habis tanpa ampun.

Tak peduli jeritan yang menggema pilu, yang penting dia menjalankan tugas dari Tuhan. Hingga manusia bisa tersadar atas dosa-dosanya. Saling menginstropeksi diri tanpa menjatuhkan siapa pun. Saling memaafkan dan menolong. Terus berkelanjutan, sampai dunia benar-benar damai tanpa ada peperangan dan intimidasi terhadap kaum minoritas. Tuhan ingin membersihkan dunia dengan cara-Nya.

Tuhan memiliki banyak cara untuk menyadarkan hamba-Nya. Sejarah tak mungkin lupa bagaimana tsunami Aceh pada tanggal 24 Desember 2004 mengguncang Indonesia. Korbannya tak sedikit, bahkan negara-negara tetangga pun ikut terkena dahsyatnya peringatan Tuhan kala itu. Ketika semua selesai, perseteruan antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI berakhir indah. Mereka sama-sama menurunkan ego demi rakyat, demi Aceh, demi masa depan. Padahal, 30 tahun permusuhan itu terjalin. Ribuan nyawa berjatuhan. Jika Tuhan tidak mengirimkan peringatan lewat tsunami kala itu, entahlah apa yang terjadi kemudian. Sampai kapan permusuhan itu akan berakhir.

Ibu Tria berulang-ulang membaca hasil swab yang ada di tangan. Rasanya masih tak percaya bahwa anaknya positif corona.

Dicek berkali-kali sampai dibawa ke teras rumah agar terlihat jelas. Kacamata minusnya dikenakan. Diperhatikan kata demi kata dengan saksama. Putra sulungnya memang benar positif corona. Dia terpapar virus mematikan itu, bersamaan dengan beberapa tim medis lain yang pernah kontak langsung dengannya.

Bayangan kematian seperti yang tersiar di berbagai stasiun televisi dan maraknya pemberitaan di koran seketika menyeruak di kepala. Wajah Ibu Tria langsung pucat pasi. Keringatnya bercucuran dengan deras. Tak terbayang jika memang suatu saat dia harus berpisah dengan putra kebanggaan. “Ya Allah, Ya Rahman,” ujarnya bersimpuh sambil mengurut dada. Ibu Tria tersungkur di depan teras rumah. “Mengapa putraku harus terkena virus mematikan itu hingga terbaring lemah di ICU, Ya Allah, Ya Rahim?”

Varrel yang sedang berada di ayunan samping rumah, asyik melakukan video call dengan sang pacar. Dia seketika melompat dari ayunan, terkejut mendengar ibunya menggumamkan hal itu.

Langsung diambil kertas hasil tes swab dari laboratorium rumah sakit, seolah tak percaya pada indra pendengarnya sendiri. “Kakak positif? Kenapa bisa begini, Ma?” ucap Varrel lirih.

Ibu Tria tak menjawab, langsung dipeluk raga anak bungsunya itu. Tangisnya tumpah dalam sedu sedan yang panjang.

Sejenak Varrel bingung harus berbuat apa. Dia hanya terdiam sembari memeluk ibunya kembali. Membiarkan sang ibu menumpahkan seluruh kegundahan yang ada ke dalam pelukan. “Kakak pasti sembuh, Ma. Kita berdoa saja agar wabah ini segera berlalu dan hidup bisa kembali berjalan normal,” ujarnya menguatkan.

“Mama tak tahu lagi harus berbuat apa. Menemuinya pun tak boleh.” Ibu Tria mengucapkannya sambil terus menangis sesenggukan.

Varrel menatap ibunya dengan tatapan penuh kasih sayang. Dihela napasnya berat, seolah paham apa yang berkecamuk dalam benak ibunya sebelum mengeratkan pelukan. “Ayah sudah tahu tentang ini, Ma?”

“Belum. Ayahmu masih ke pasar membeli beras.”

“Kita harus kuat, Ma. Sebab, setiap penyakit pasti ada obatnya. Apa pun itu. Termasuk, virus corona yang sedang melanda seluruh dunia. Cepat atau lambat semua akan terjawab atas kekuasaan Tuhan. Semua sudah diatur dengan sebaik-baiknya,” ucap Varrel menenangkan ibunya.

“Namun, Nak. Ini sekarang kakakmu yang menjadi korbannya.” Ibu Tria tampak masih tak terima dengan kenyataan itu.

Lihat selengkapnya