Sesampainya di muka ruang ICU, mereka kembali tidak diperbolehkan masuk. Alasannya masih sama seperti sebelumnya.
Mendengar itu, Ibu Tria kembali menangis histeris. “Anak saya sekarang berada di ICU. Dia koma, jantungnya melemah. Saya harus tahu kabarnya.”
“Sabar, Bu. Banyak-banyak berdoa agar diberikan kekuatan! Istigfar!” ucap penjaga ruang ICU.
Bapak Rizwan tak henti-hentinya membaca Surah Yasin, Al-Waqiah, dan Al-Mulk di teras ruang ICU. Terus diulangnya hingga berkali-kali. Matanya sembab karena menangis terus. Tangan kanannya selalu memegangi lengan Varrel. Jemarinya gemetaran.
“Sayang, ini Mama, Nak. Jangan tinggalkan Mama. Mama tak kuat berpisah denganmu,” ucap Ibu Tria dari balik pintu ruang ICU. “Bangun, Arsil. Bangun! Jangan tinggalkan Mama!”
“Bu, tolong, tenang. Kasihan, pasien lain bisa terganggu. Kondisi anak Ibu sekarang kritis. Satu-satunya jalan untuk memberikan yang terbaik adalah doa. Doa mampu mengubah segalanya. Berdoa yang banyak saja, Bu. Semoga ada keajaiban dari Allah,” ucap salah satu perawat yang kebetulan melintas.
***
Siang semakin terik. Hujan semakin deras mengguyur bumi. Petir dan kilat saling beradu kekuatan, memperlihatkan kepada manusia bahwa setiap yang bernyawa akan berakhir bersama jalannya masing-masing.
Di ruang ICU, dr. Arsil dinyatakan telah tiada. Dia tak mampu lagi melawan rasa sakit. Sebab, tak sanggup menahan segala penderitaan.
Tepat pada pukul satu siang saat hujan turun begitu deras, dr. Arsil mengembuskan napas terakhir. Dia memilih kembali ke pangkuan Sang Penguasa Alam.