Rencananya tepat pada pukul lima sore, dr. Arsil akan dikebumikan di pemakaman muslim Kampung Anggur. Dia akan dikebumikan di samping makam kakek dan nenek dari garis ayahnya.
Sesuai peraturan dan standar pemakaman jenazah yang terpapar covid-19 maka yang bisa menghantarkan ke tempat peristirahatan terakhir hanya keluarga inti. Itu pun tidak bisa mendekat. Harus berjarak sekitar 5 sampai 10 meter dari liang lahat.
Setelah mendengar kabar dari pihak keluarga bahwa pahlawan kemanusian itu akan dimakamkan di Pemakaman Al-Ikhlas Desa Anggur, ketua RT dan tokoh-tokoh setempat berupaya memengaruhi warganya untuk menolak pemakaman itu. Mereka beralasan, takut tertular virus corona.
Ketika proses pemakaman akan diselenggarakan, rumah Bapak Rizwan sudah ramai didatangi para warga. Mereka berkerumun di muka rumah sambil berteriak-teriak layaknya orang yang mau melakukan demonstrasi. Ada yang membawa pentungan juga agar ancamannya lebih terasa. Mereka serempak menolak pemakaman itu. Tidak ingin Almarhum Arsil dimakamkan di kampung situ. Apalagi, di pemakaman umum setempat.
***
Hari beranjak semakin sore. Langit jingga mulai terlihat di ufuk barat. Burung-burung beterbangan, mengelilingi awan yang semula biru berganti bias kejinggaan. Pertanda petang, pembuka tabir malam akan segera tiba.
Angin sepoi-sepoi bertiup lembut. Dedaunan kering berserakan di halaman pemakaman. Sesekali, tercium aroma kamboja yang bermekaran, menghiasi tanah pemakaman. Sedangkan rumput-rumput masih basah karena hujan sejak pagi tadi yang baru reda menjelang Asar.
Ibu Tria bersimpuh, memohon-mohon pada ketua RT setempat agar jenazah putranya diizinkan disemayamkan di situ. Dia sampai mengiba-iba agar dibantu prosesinya. Namun, harapannya harus pupus sebelum berkembang. Semua tak berjalan sesuai dengan harapan.
Keputusan warga Kampung Anggur sudah bulat. Mereka menolak jenazah dr. Arsil Zaid untuk dimakamkan di samping pusara kakek dan neneknya. Permohonan pihak keluarga yang berkali-kali dilayangkan kepada warga, terutama kepada ketua RT setempat, sama sekali tak digubris.
Ibu Tria sampai menangis histeris. Beberapa kali dia limbung karena permohonannya ditolak mentah-mentah. Dia tak menyangka akan menerima cobaan seberat itu. Sudah kehilangan orang yang dicintai, ditolak warga setempat pula. Padahal, pengorbanan dr. Arsil semasa hidup sangat besar pada masyarakat.
Ibu Tria tersungkur di tanah. Tak kuat lagi menanggung beban. Tubuhnya terasa lemah, tak berdaya. Sekan-akan seluruh isi dunia diletakkan sekaligus di pundaknya. Berat. Berat sekali.
Putra kebanggannya harus merasakan perih, gugur berperang melawan covid-19. Namun, kini jasadnya ditolak dimakamkan di tanah kelahiran sendiri, seolah tak dikehendaki sama sekali keberadaannya. Padahal, putra sulungnya itu sudah mengorbankan nyawa demi jiwa dan raga yang lain.
Keinginan Ibu Tria menghantarkan putranya pada pembaringan terakhir di tengah-tengah keluarga besar kini hilang seketika. Jangankan ikut ke pemakaman, rasa simpati pun mereka tak punya. Begitu tega mereka memperlakukan manusia yang telah berjasa besar pada negeri dengan rasa tidak tahu terima kasih. Mereka sama sekali tak tampak bangga memiliki pejuang sejati, seperti dr. Arsil. Sungguh biadab pola pikir mereka!