Seumur hidup, baru akhir-akhir ini melihat kelakuan anak-anak semakin aneh. Memasak direkam, makan dibuat jadi video, mandi diabadikan. Mengapa tidak sekalian saat buang air besar saja juga direkam? Kadang-kadang berteriak-teriak tidak jelas. Tertawa dan berbicara sendiri. Makin maju teknologi, semakin tidak waras manusianya. Apa ini yang namanya kemajuan zaman? Entahlah.
“Kalau sedang makan, jangan sambil main ponsel,” tegur Ibu Tria ketika melihat anak bungsunya makan sambil tertawa-tertawa, menatap sesuatu di layar ponsel di hadapan. “Lebih baik tidak usah makan sekalian! Makan saja, tuh, ponsel!” ujarnya sewot.
Kali ini Varrel ingin melakukan mukbang di rumahnya. Semua meja makan dipenuhi masakan kesukaan yang baru saja dibeli di Pasar Keramat bersama Mbok Nah pagi tadi.
Semua makanan dikeluarkan dari bungkusnya sebelum dipindahkan ke piring saji berukuran besar. Dia memang sudah sangat niat hendak melakukan mukbang.
“Rel, kamu mau makan atau apa? Pakai direkam segala! Mau pamer?” tanya Ibu Tria lagi.
“Makan sambil live, Ma,” sahut Varrel sambil menengok ke belakang. Sama sekali tak ada rasa bersalah yang terpancar di wajahnya meskipun sudah ditegur berulang kali oleh sang ibunda.
“Laf, lif, laf, lif! Segalanya tidak usah dibuat begitu. Makan sebagaimana seharusnya saja,” tegur Ibu Tria lagi.
“Ini lagi tren, Ma. Banyak orang luar negeri yang melakukan ini juga. Bahkan, para selebritis. Pokoknya hits, deh,” sahut Varrel lagi, menegaskan. Dia tak mau menyerah begitu saja apa yang sudah direncanakan harus kandas sebelum dimulai.
“Tran, tren, tran, tren! Mama benar-benar tidak mengerti dengan pola pikirmu. Dosa, lho, kamu seperti itu, Rel. Itu sama saja dengan kamu pamer. Dosa, Rel! Ingat dosa,” ucap Ibu Tria, tak mau kalah.
“Niatnya bukan buat pamer, kok, Ma. Ini untuk sekadar hiburan saja,” Varrel tetap saja berkilah. Wataknya memang sedikit keras kepala dan agak bebal mendengar nasihat dari ibunya.
“Bagimu mungkin hanya bersifat hiburan semata. Namun, belum tentu sama bagi mereka yang melihat. Kalau di antara mereka ada yang ingin makan juga sesuatu yang sama dengan yang kaupamerkan, tetapi tidak ada kemampuan untuk membeli hal sama, dampaknya akan buruk. Bisa jadi mereka terpaksa mencuri untuk bisa menikmati makanan yang sama. Lantas, siapa yang harus disalahkan? Siapa yang akan menanggung dosanya? Kamu juga ikut berdosa, lho. Karena, secara tidak langsung jadi penyebab mereka berbuat dosa,” jelas Ibu Tria. “Ingat, Nak, kita tak pernah tahu siapa saja yang melihat video itu. Kita tak bisa menebak setelah mereka menontonnya hal apa saja yang akan terjadi. Kita juga tak bisa memprediksi sejauh dan sedalam apa yang mereka rasakan. Jangan sampai hal ini membuatmu sombong dan besar kepala. Pun, membuat mereka kufur atas nikmat yang sudah digariskan. Awas, itu bahaya. Dikiranya membawa manfaat. Eh, malah, tidak! Justru mudarat yang ada,” sambung Ibu Tria panjang lebar.
“Kita hidup itu harus bisa mengikuti tren dan modernitas zaman, Ma. Mama, sih, ketinggalan zaman. Norak!” jawab Varrel. Kini dia sepenuhnya kesal karena sang ibu tak berhenti menginterupsi apa yang dilakukan.
Mbok Nah yang memperhatikan semua itu dari jauh, hanya tersenyum mendengar percakapan antara tuan muda yang bungsu dengan nyonya rumah.
“Varrel! Kau tidak sepantasnya berkata ketus begitu pada orang tua!” Ibu Tria kini mulai naik pitam mendengar kalimat sarkastis Varrel yang ditujukan padanya. “Asal kau tahu saja, lebih baik norak, tetapi beretika dan tidak membuat orang lain sakit hati daripada keren, tetapi justru banyak yang terluka dengan kekerenan itu. Apalagi, jika itu sampai menyimpang dari konteks ajaran agama. Dunia kalau diikuti, tidak akan pernah selesai dan tidak akan ada habisnya. Akan berlari semakin jauh dan jauh dari koridor agama.”
Varrel hanya menggeleng samar sembari mendesah pelan. Dia sadar kalau sudah berhadapan dengan ibunya, dia tidak akan pernah menang. Sebagus apa pun jawaban yang terlontar, pasti akan terbantahkan juga. “Bukankah yang kulakukan sekarang, hal yang semacam ini, bisa menghasilkan uang banyak?” putusnya.