"Rel! Kita kolab buat konten youtube, yuk.” Rangga mengajak Varrel dengan sumringah saat mereka bertemu keesokan harinya. “Lama kita tidak kolab. Sudah hampir tiga bulan lebih semenjak kameraku rusak. Ini aku beli lagi. Baru satu minggu yang lalu.” Rangga memamerkan kamera di ponsel dengan tingkah konyolnya.
Varrel hanya tersenyum. “Nanti kita mukbang setelah pulang sekolah, bagaimana?” tanyanya menanggapi.
“Mukbang? Bolehlah,” jawab Rangga. “Di rumahmu atau di tempatku?”
“Di tempatmulah. Kalau di rumahku, nanti Mama mengomel lagi,” gerutu Varrel. “Kamu tahu sendirilah bagaimana Mama, Ngga?”
Rangga hanya nyengir kecil menanggapi ucapan temannya itu. “Nanti kapan-kapan aku main ke rumahmu, Rel. Kangen sama mamamu.”
Varrel hanya mengangguk-angguk sebagai jawaban.
Sebenarnya dia iri pada Rangga. Karena, diberikan kebebasan untuk memainkan media sosial sesuka hati, terutama dari segi membuat konten youtube yang sangat menggiurkan baginya.
Suasana kelas terlihat sepi. Sebab, anak-anak masih bermain basket di halaman sekolah. Sedangkan kaum perempuannya, lebih memilih menghabiskan waktu di kantin dan perpustakaan demi mengerjakan tugas Bahasa Indonesia yang diminta Ibu Guru Safira, yakni membuat cerpen dengan tema media sosial. Hanya beberapa murid saja yang terlihat tidak keluar kelas, memilih untuk tidur di bangkunya.
Varrel sendiri hanya berdiam di kelas, menonton konten youtube yang lagi trending. Sedangkan Rangga, menghabiskan waktu istirahat dengan main game slither.io.
“Tolong suara speaker-nya dikurangin dong, Rel. Berisik!” tegur Rangga kesal karena dia kalah dalam permainan.
Varrel tak menjawab ucapan Rangga. Hanya langsung mengecilkan volume speaker-nya tanpa kata.
Rangga sendiri semakin asyik pada dunianya.
“Ngga! Kapan kita akan mengerjakan tugas Bahasa Indonesia? Tugasnya kapan, sih, dikumpulkan?”
“Sekarang juga boleh. Paling lambat pulang sekolah nanti kata ketua kelas.”
“Masa, Ngga? Tidak boleh besok atau waktu ada mata pelajarannya lagi saja? Membuat cerpen itu tidak mudah, lho. Panjangnya saja sekitar empat sampai tujuh halaman. Aneh-aneh saja ibu guru ini memberikan tugas!” Varrel bangkit berdiri sebelum berjalan ke depan pintu kelas.
Dari ujung mata, dilihat kawan-kawan sekelasnya asyik bermain basket dengan musuh dari kelas sebelah. Pola mainnya tidak beraturan, cenderung serabutan dan semau sendiri. Bagi mereka, yang terpenting hati senang.
“Lalu, kita kerjakan sekarang atau bagaimana?” tanya Varrel lagi.
Rangga hanya terdiam, tak menanggapi. Dia masih asyik dengan dunianya sendiri. Sesekali, terdengar dia mengumpat selama permainan berlangsung. Seluruh nama hewan di kebun binatang terlontar keluar dari bibirnya. Bahkan, nama-nama penyakit di rumah sakit jiwa pun ikut terhantarkan.
Ya Allah, mengapa mulut begitu mudah melemparkan sebuah kata yang tak seharusnya diucap? Memang itu bukan ditujukan untuk siapa-siapa. Bukan untukku ataupun orang lain yang ada. Namun, itu tetaplah tak layak dilakukan, Sebab, ucapan adalah doa. Perkataan juga mencerminkan kepribadian dan gambaran diri. Jika tidak marah saja seperti itu, lalu bagaimana jika dalam kondisi emosi yang tak terkontrol? Semua akan makin terlampiaskan, tak terkendali.
Bisakah hal itu diubah, Ya Allah? Jujur, ada perasaan malu di jiwa ketika melihat orang lain melakukan itu. Maka, seperti itu jugakah jika aku memiliki emosi tinggi? Kenapa terkadang rasa puas itu ada jika sudah mengeluarkan sumpah serapah? Kebiasaan yang tidak baik dan sangat kurang etika. Bertolak belakang dengan nurani yang tak rela jika itu terlontar. Bolehkah aku menarik ucapan saat terbiasa bersumpah serapah dulu?
Varrel!”
Varrel tersentak kaget. Lamunannya seketika buyar dengan suara Rangga yang merangsek tinggi di udara.
“Ayo, kita ke kantin. Cacing di perutku sudah minta jatah diisi. Mereka tak sabar lagi menunggu. Waktu berkompromi sudah habis,” ucap Rangga sembari menarik tangan Varrel dengan kencang supaya segera keluar kelas.
“Ya sudahlah.” Varrel mengalah. “Tapi, Ngga. Bagaimana dengan tugas Bahasa Indonesia kita? Kapan kita mau mengumpulkannya? Yang lain sudah mengerjakan, lho.”