Tuhan menciptakan sesuatu memiliki pasangannya masing-masing. Laki-laki dengan perempuan, siang berdampingan dengan malam, bumi dinaungi langit, daratan dipisahkan oleh pantai untuk menjaga jarak terhadap laut. Baik berlawanan dengan buruk, dunia diciptakan beriringan dengan akhirat, pun ada halal yang bertentangan dengan haram.
Ketika setiap pasangan sudah ditentukan fungsi dan tugasnya oleh Tuhan, semua memiliki makna dan manfaat masing-masing yang terkandung. Begitu juga dengan makanan. Tidak semua makanan memiliki manfaat bagi anggota tubuh atau mendukung fungsi organ tubuh. Malah sebaliknya, ada pula yang bersifat merusak, bahkan sampai menghilangkan nyawa karena tak dapat berfungsi dengan baik. Sehingga, atas dasar itu kita patut bersyukur atas ketentuan hukum yang Allah berikan kepada kita. Karena, ketentuan itu sudah sangat diterima di luar dan di dalam tubuh manusia.
Lalu, mengapa kita ingin menentang aturan tersebut? Seakan-akan kita memiliki kekuatan untuk melawan dan melumpuhkan semua yang tertera? Bukankah sudah banyak kejadian-kejadian yang Allah ceritakan kepada kita di masa lampau di dalam firman-Nya?
“Rel, kamu sudah menelepon kakakmu? Jadi tidak hari ini dia ke sini?” tanya Ibu Tria.
Varrel melirik sekilas ke arah ibunya yang duduk di seberang meja makan, menemaninya sarapan. “Sudah aku WA, Ma. Sepertinya tidak aktif. Lagian, kenapa Kakak harus ke sini lagi? Bukannya minggu kemarin sudah dari sini? Akhir-akhir ini Kakak jadi terlalu sering pulang. Enak kelihatannya, ya, jadi PNS itu,” ujar Varrel sambil menyuapkan sendok terakhirnya.
Ibu Tria terdiam mendengar jawaban dari putra bungsunya. Dihampiri Varrel sambil menjulurkan tangan. “Ini uang jajanmu satu minggu. Jangan boros. Belajarlah berhemat. Pokoknya kalau habis sebelum waktunya, tidak ada jatah jajan lagi.”
“Hmph, 150 ribu! Mana cukup di zaman sekarang yang serba mahal dan apa-apa sulit didapatkan, Ma!” jawab Varrel kemudian. Rasa tak suka dan tak puas tergambar jelas pada raut muka dan perubahan frekuensi suaranya.
Ibu Tria langsung berjalan ke kamar tanpa menjawab gerutuan Varrel. Diambil ponselnya sebelum menelepon seseorang.
***
Lima menit kemudian, Ibu Tria kembali keluar kamar, menuju dapur sambil memanggil-manggil putra bungsunya dari kejauhan. “Rel! Varrel! Rel!” panggil Ibu Tria. Namun, tak kunjung mendapatkan jawaban.
Ibu Tria berlari-lari kecil, langsung mengejar Varrel ke garasi karena kemungkinan besar Varrel langsung ke sana usai sarapan.
Ditarik tangan putra bungsunya yang sudah hendak berangkat ke sekolah.
“Ada apa, Ma?” tanya Varrel yang sudah menstarter motor. Terpaksa dimatikan mesin motornya lagi demi menuruti ajakan sang ibu.
Ibu Tria hanya tersenyum sebelum mengajak Varrel keluar garasi. Ada sesuatu yangg ingin dibicarakannya sebentar di depan pagar.
Pak Rizwan yang tengah duduk di depan teras yang bersebelahan dengan pintu garasi hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah istri dan anaknya yang terkadang berlebihan. “Nanti Varrel terlambat lagi, lho,” tegur Bapak Rizwan mengingatkan. “Coba lihat ini sudah jam berapa.” Dijentikkan jemari ke arah arloji yang dikenakan di pergelangan kanan.
Varrel mengangguk mendengar ucapan sang ayah. Sejak tadi dia memang sudah berniat berangkat sebelum dicegah begitu saja oleh ibunya.