Sabtu, jam 6 pagi.
Kezia melajukan mobil HRV putihnya melewati gerbang ‘Selamat datang di Desa Sukamal’, yang diiringi dengan musik pop dari radio mobilnya. Di gerbang itu, ada dua orang penjaga yang mengenakan seragam berwarna hijau gelap berlengan panjang, sedang tidur pulas. Yang bertubuh lebih subur, tidur dengan mulut terbuka, sedangkan penjaga satunya lagi, yang bertubuh kurus, asik-asik tidur di pangkuan temannya sembari menggaruk-garuk ketiaknya sendiri.
Kezia yang melihat pemandangan ini, hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil. Sesaat, ia melihat daftar nama-nama desa yang akan didatanginya hari ini. Tiba-tiba saja, ada kambing tepat di depan mobilnya, dengan cepat ia membanting setirnya, hingga menabrak tiang listrik. “Waaa….”
Ciiiiitttt…. Brag!
Mobil bagian depannya, alhasil ringsek parah, serta mengeluarkan asap. Dengan emosi, Kezia keluar dari mobilnya dan melihat ke arah si pemilik kambing. Bapak berkaos coklat itu, dengan santainya, masih saja sibuk menggiring lima ekor kambing, termasuk si kambing putih yang tadi menghadang mobil Kezia. “Maaf, maaf,” ujar bapak tersebut.
Para warga yang mendengar tabrakan itu, berhamburan mengelilingi mobil Kezia yang sudah rusak parah. Kezia sampai melotot melihat ke arah si bapak. Gimana ini, mobil gua rusak, lah si orang ini cuma ngomong maaf-maaf doang. Solusinya mana?
Kezia berusaha menahan emosinya, dan mengeluarkan ponselnya untuk menelepon, meminta bantuan. Tapi berkali-kali dicoba, ternyata, sinyal di daerah ini bermasalah. “Haduh, sinyalnya,” celoteh Kezia.
Si bapak itu hanya menjawab, “Di sini jelek, Neng sinyalnya. Harus naik ke atas bukit, baru bisa. Yang lumayan bagus, di RW 23.”
“Ya udah, anterin saya ke RW 23 deh, Pak.”
***
Di RW 23
Kezia dibonceng pakai motor bersama si bapak, sampai ke RW 23, daerah paling atas dari Desa Sukamal. Bersama si bapak, Kezia harus melewati jalanan yang berkelok-kelok, kecil, curam, rusak, hingga jalanan yang masih saja belum diaspal. Sempat beberapa kali, motor yang ditumpangi Kezia ini harus ikut bergoncang-goncang, ke kiri, kanan, mengikuti bentuk tanah yang tidak rata. “Maklum, Neng, tadi malam di sini hujan, jadi tanahnya lembek,” ujar si bapak, berusaha menenangkan Kezia yang panik.
Kezia cuma bisa pasrah, mengikuti si bapak, yang akhirnya Kezia tahu namanya adalah Gama. “Pak Gama, ini kita ngelewatin hutan ya?”
“Bukan Neng, bukan hutan ini. Cuma pepohonan biasa aja ini, ntar juga langsung masuk RW 23. Bagus tempatnya.”
Angin dingin di pagi hari, terasa sangat menusuk kulit Kezia, tapi ia berusaha sekuatnya untuk menahannya, demi bisa memanggil orang bengkel dan segera pergi dari tempat ini.