Sekarang, di Desa Sukamal RW 23, hampir setiap rumah telah memiliki tiga buah kolam ikan dan ibu-ibu sudah semakin ahli dalam mengolah ikan lele menjadi kerupuk, dorokdok dan pecel lele. Pembangunan tempat wisata, kini perlahan tapi pasti, mulai menunjukkan taringnya.
Setelah sibuk, merapikan perkakas dapur, Kezia masuk ke ruang tamu sembari tersenyum senang, tapi tiba-tiba senyum itu pun perlahan memudar, saat melihat Dimas yang sedang terduduk dengan muka yang sangat lemas dan penuh keringat. Ini hal yang jauh di luar kebiasaan Dimas. Duduk dengan postur tubuh yang tidak tegap.
“Dimas, lu sakit?”
Namun bukannya jawaban yang diberikan, Dimas hanya memberikan kode untuk menjauhinya, melalui pergerakan tangannya. Apa jangan-jangan?
***
Pak Haryono, Ibu Laras dan Dimas sendiri, bersepakat agar Dimas cukup dikarantina secara mandiri dan tidak memberitahu warga di sekitar. Mereka tidak mau membuat keributan dan kepanikan di RW 23, apalagi mengingat pembangunan desa wisata sudah berjalan 60 % sesuai dengan rencana.
Berhari-hari, Dimas terkurung di dalam kamar. Makanan hanya bisa ditaruh di depan pintu kamarnya saja. Beberapa kali mereka mendengar suara kesakitan Dimas. Suara yang sangat menakutkan bagi Kezia.
***
Suatu malam, Kezia mengendap-endap menuju pintu kamar Dimas. Ia duduk di ambang pintu itu, termenung sembari berharap bisa mengobrol dengan Dimas secara langsung. Berharap bisa ikut, sedikit saja, bisa menanggung rasa sakit itu.
Setiap hari mendengar suara batuknya saja, Kezia sudah bisa membayangkan betapa sakit tubuhnya Dimas. Kezia menitihkan air matanya. Tidak henti-hentinya, dia menyalahkan dirinya. Coba dia gak datang ke sini, mungkin Dimas gak akan terkena penyakit ini, mungkin dia sehat-sehat aja. Seandainya, ya, seandainya, waktu bisa diputar kembali….
Kezia