Satu Bulan Kemudian
Kezia duduk seorang diri memandang keindahan lampu kota dari atas bukit. Ia menumpahkan semua perasaannya kepada langit dan membiarkan angin membawa semua keluh kesahnya pergi.
Hatinya bimbang, antara menyelamatkan semua karyawannya di kantor, atau di desa ini. Bagaimana kalau para warga desa tahu, kalau dia hanya mau membangun desa wisata ini untuk dijadikan proyek bisnisnya? Itu artinya, dia gak ada bedanya dengan PT Fosforus Indonesia.
Tiba-tiba Dimas datang menghampiri dan langsung, duduk di sebelahnya.
“Dimas, lu kan baru sembuh...”
“Gak papa. Udah sembuh, santai aja.” Dimas mengatakan ini sembari tersenyum. Dia merasa senang, melihat Kezia yang mencemaskan dirinya. “Makasih ya, udah ngerawat gua, waktu sakit kemarin.”
Kezia merasa sedikit canggung, saat mendengar Dimas mengucapkan terima kasih kepadanya. Ia pura-pura merapikan rambutnya. “Ah, ya…. Tapi tetep aja, harusnya kamu sekarang itu, masih istirahat. Bukannya di sini.”
Dimas kembali tersenyum dan melihat Kezia lama sekali, membuat Kezia semakin salah tingkah.
“Kenapa?” tanya Kezia.
“Seneng, karena kita bisa ngobrol kayak gini lagi. Gua sempet putus asa, selama sakit. Gua pikir gua bakal mati.”
“Dimas….”