Ketika Kezia kembali ke rumah Pak Haryono, di halaman rumahnya sudah berdiri sejumlah warga yang sedang berkumpul mendiskusikan sesuatu. Muka mereka tidak kalah kagetnya, sama seperti Kezia yang melihat mereka.
“Ini apa?” tukas seorang bapak, dengan menunjukkan isi ponsel Kezia. “Kamu ada kerjasama dengan investor?”
“Mau jual desa kami?”
“Pantesan, mau bantuin kita bangun desa ini, ternyata, cuma mau memperbudak kita,” celoteh warga lainnya.
Disambung lagi dengan, “Kamu gak ada bedanya dengan Perusahaan Fosforus.”
“Orang dia pacaran sama Bos yang punya Fosforus itu, kok.”
…
Mata Kezia berkaca-kaca, mulutnya seolah bungkam, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia merasa tidak punya energi untuk membela dirinya sendiri. Dia tahu, kalau dia memulai ini semua dengan sebuah kesalahan. Ada sebagian dalam dirinya, merasa bahwa dia cukup pantas dihakimi seperti ini.
Kemudian Dimas menenangkan semua warga. “Ini perintah dari Kepala Desa. Dia meminta Kezia untuk meninggalkan tempat ini, paling lambat besok.”
***
Setelah semua warga puas mendengar keputusan kepala desa tersebut, mereka pun pergi berhamburan, kembali ke rumahnya masing-masing. Tinggalah Kezia yang berdiri terpaku, tanpa ada satu pun yang bersedia menemaninya.
“Dimas!” panggil Kezia.
Dimas berhenti dan menolehkan wajahnya dengan sedikit acuh.