“Ba-bagaimana ini? Kalo melihat tingkahku kemarin, mereka pasti gak mau lagi nerima aku?” Liam mencurahkan kepanikannya di tengah ruangan ukuran 5x6 meter ini.
Sejauh yang kuamati, rasa paniknya sekarang sudah mengalahkan rasa malunya yang berlebihan. Tak sedikit pun kulihat raut wajahnya memerah atau bertingkah gugup di depan kami seperti kemarin. Bila memang demikian, kasus rasa malunya dikesampingkan dahulu, dan dilanjut ke masalah bergabung dengan tim voli.
“Hmm, tak per-,”
“Oy oy. Udah bayar aja. Kalau kamu mau, aku akan membayar mereka biar kamu bisa gabung dengan mudah,” Pito bicara dengan gampangnya.
Memang untuk ukuran bocah kaya raya seperti Pito, hal itu begitu lazim dilakukan. Semua dimuluskan dengan uang. Tapi aku yakin Liam tak mengharapkan hal seperti itu. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang berbinar-binar itu. Hah? Tunggu dulu! Aku tak menyangka gadis berkulit kuning langsat ini mau menerima tawaran Pito.
“Tu-tunggu dulu, Liam. Kamu yakin mau bergabung dengan cara begitu?” tanyaku yang sangat kecewa dengan perubahan air mukanya.
“E-enggak boleh ya?” tanyanya lugu.
Ya, ampun. Terlalu polos. Mungkin karena rasa malunya yang membuatnya jarang bergaul berdampak pada pemikirannya yang terlalu polos. Orang seperti ini akan mudah untuk dimanipulasi.
“Biar kuberitahu padamu. Memperoleh sesuatu dengan cara pintas itu tidak baik. Hal yang benar-benar diharapkan tidak akan terwujud. Dan orang-orang akan meremehkanmu. Aku sangat tidak menyarankan bagimu untuk menerima tawaran Pito.”
“La-lalu, Kak Ranka punya solusi? A-aku pengin banget gabung di tim itu.”
Itulah yang sejak tadi kupikirkan. Dengan kepribadian yang seperti ini, apa ia siap untuk menjadi bahan sorotan penonton? Pemain voli otomatis akan ditonton permainannya. Dan Liam akan menarik perhatian ratusan pasang mata bila ia memegang bolanya.
“Liam, apa alasanmu memilih bergabung dengan tim voli? Menurutku, dengan kepribadianmu itu, kamu lebih cocok bergabung di ekstrakurikuler melukis, menjahit, atau sains. Itu solusiku.”
“Atau kamu gabung di grup pegulat bertopeng, wajahmu kan ditutupin tuh, jadi kamu gak akan malu,” timpal Eru tanpa kuminta usulnya.
“Atau bisa juga gabung di grup ninja. Mereka tertutup, bergerak dibalik bayang-bayang tanpa ada yang melihat dan menyadari. Dengan wajah yang disamarkan, bila perlu diblur,” Tifa mulai ngawur.
Mana ada grup begituan. Lagipula apa ini tayangan pelaku kriminal sampai wajah harus diblur segala? Rekan-rekan tak berguna. Aku sungguh tak ingin mendengar apa pun dari kalian.
“A-aku,” gugupnya muncul kembali. “A-aku, harus bilang apa? Aku malu.”
Bukan urusanku kamu mau bilang apa? Haaah ... pekerjaan ini memang benar-benar menyebalkan. Kalau saja ini bukan karena ancaman, aku takkan mau melakukan hal ini.
Wajah Liam mulai memerah. Badannya gemetaran karena malu. Sudah kuduga, gemetar badannya itu bila dimanfaatkan sebaik mungkin dengan memusatkannya pada kaki, aku yakin dia bisa menjadi penjahit handal. Kubiarkan saja ia terus gemetaran sampai ia capek sendiri.
“A-aku, aku menyukai voli. Aku suka voli, Kak. Aku ingin main voli,” jawabnya dengan mimik wajah hampir menangis. Napasnya tersengal-sengal menahan lelah akibat grogi berlebih.
Aku menggigiti ujung pena yang kugenggam. Tampaknya kekokohan hatinya memang tak bisa diraguan lagi. “Kamu yakin?”
Liam menatapku. Kemudian memejamkan mata dan mengangguk dengan keras. Dan itu sangat tidak kuanjurkan karena bisa membuat batang lehermu sakit. Keteguhan hati Reliam membuatku tersentuh. Kalau begini caranya, mau tidak mau aku harus mendukungnya.
“Kamu pernah main voli sebelumnya? Hal yang kamu bisa?”
“U-um, Dulu pernah main ... sama ayahku. Service, receive, spike, ku-kurasa aku bisa,” ujar siswi kelas satu ini.
“Sudah bisa ternyata. Baiklah, aku akan berusaha membantumu. Sebagai gantinya, kamu harus menuruti apa yang kukatakan. Dan jangan pingsan lagi!”
“I-iya, Kak Ranka.”
Corong Speaker beserta klien segera bergerak menuju gedung olahraga. Hari ini gedung olahraga terlihat lebih luas dari kemarin. Udaranya tidak begitu pengap. Lantainya terlihat agak lebih bersih. Juga tak terlalu berisik. Tapi bila dilihat dari segi keefisienannya, kita akan menemukan suatu kejanggalan. Yang terlihat di dalam hanyalah sekumpulan anak yang mengikuti ekstrakurikuler bola basket.
“Tim bola voli latihan di lapangan depan. Ngapain juga kita ke sini?” ungkap Pito membuyarkan kekagumanku pada lantai gedung yang bersih.
“Kalau kamu sudah tau, seharusnya cepat bilang!” dengusku datar.
“Kamu gak nanya.”