CORONG SPEAKER

Raja Muda Hasibuan
Chapter #4

CORONG SPEAKER (1)

Ini semua berawal satu bulan yang lalu. Ketika aku baru saja naik ke kelas dua di SMA Sayap Impian. Sebuah sekolah swasta ternama yang terletak di tepi ibukota. Berbagai elemen siswa yang memiliki kemauan keras dikumpulkan di sini melalui seleksi yang cukup membuat jantung beresonansi dengan suara senapan AK47. Entah kenapa aku juga berhasil lulus masuk di SMA ini tanpa memiliki kemauan yang keras. Dekat dengan rumah – alasan yang selalu kupakai bila ditanya kenapa aku memilih sekolah ini. Pada dasarnya orang malas sepertiku memang tak suka repot untuk pergi pagi-pagi sekali sambil menunggu angkot yang belum tentu lewat untuk pergi ke sekolah yang jaraknya tak ingin kuhitung dari rumah. 

Dua gedung utama berlantai tiga digunakan untuk ruangan kelas, dan satu gedung berlantai empat digunakan khusus untuk ruangan ekstrakurikuler. Setiap tingkatan terbagi dalam dua belas kelas. Dan sekali lagi, entah kenapa aku bisa masuk ke kelas – bisa dikatakan cukup di atas rata-rata – di SMA ini. Kelas X-10, sekarang aku sudah XI-5 jurusan IPA.

Aku adalah seorang anak SMA yang memiliki penampilan biasa-biasa saja. Orang-orang bilang wajahku selalu datar, miskin ekspresi, padahal aku tidak pernah merasa seperti itu. Aku hanya sedikit tak memiliki semangat, sedikit frontal, bicara menurut apa yang kupikirkan, juga benci dengan orang-orang yang suka memakai topeng dalam pergaulan. Karena hidup harus apa adanya. Tidak perlu menyembunyikan sesuatu yang menjadi sifat aslimu dan tak perlu hidup dalam kepura-puraan.

Hari-hariku di sekolah teramat membosankan. Aku tak pernah mau mengikuti pelajaran dengan serius, apalagi mengikuti bermacam-macam kegiatan ekstrakurikuler yang tidak diwajibkan namun sangat diharuskan. Peraturan yang menurutku tidak konsisten. Itu sama saja artinya dengan tak perlu makan sampai habis asalkan tak tersisa.

Oleh sebab itu aku memutuskan untuk tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun karena aku tak berbakat dalam hal apa pun. Prinsip mengagumkan dari orang yang sama sekali tak suka merepotkan diri sendiri. Belum lagi rekorku dalam membolos pelajaran sudah tak diragukan lagi – payahnya. Pak Wijaya – guru budi pekerti – selalu saja bisa memergoki di mana saja tempatku membolos. Hingga aku bisa berdiri di ruangannya bersama tiga siswa lain yang juga kurasa suka membolos.

“Artifa Melodi, Eruvin Muskula, Vepito Rizat, Ranka Cerebrio, empat siswa yang paling tinggi persentase membolosnya selama setahun dalam sejarah sekolah ini. Apa yang bisa kalian katakan mengenai hal ini?” sambil duduk di kursinya, Pak Wijaya menggulung kertas yang memuat data kami berempat dan menunjuk ke arah kami.

“Keren!” ujar seorang anak berseragam biasa, namun terkesan mewah bila dilihat dari bahan kain seragamnya. Di bajunya tertera bet nama Vepito Rizat.

“Mahakarya,” sambut cewek satu-satunya di antara kami berempat. Bet nama Artifa Melodi.

“Macho!” jawab yang berbadan paling besar dan tegap. Memiliki bet nama Eruvin Muskulo. Dan ....

“Patut dicontoh, disosialisasikan, ditelaah sisi positifnya untuk bisa mengembangkan potensi anak dalam memanfaatkan waktu yang dianggapnya tidak produktif menjadi waktu yang lebih tidak berguna sama sekali,” tuturku menutup jawaban dari kami.

Bapak berkepala botak di bagian depannya itu bersedekap sambil meremas gulungan kertas yang digenggamnya. Lalu ia menutup kedua kelopak matanya. Aku berharap hal berikutnya yang akan dilakukannya adalah berkomat-kamit membaca mantra pengabul permohonan. Namun yang terjadi adalah dia tersenyum dengan ekspresi menyeramkan.

“Tidak serius dalam mengikuti kegiatan kelas, tidak bergabung dalam ektrakurikuler manapun, selalu membolos di jam-jam tertentu, aku ingin tahu alasan kalian mengenai hal ini,” lanjutnya sambil melihat kami satu per satu. Di saat yang sama bola mataku menemukan sehelai uban yang tumbuh di sela-sela kumisnya yang lebat.

“Bapak tahu istilah efisien, kan? Pelajaran yang kuminati di sekolah ini hanya sedikit jumlahnya. Sedangkan ekstrakurikulernya tak ada yang cocok dengan kepribadianku. Bisa dibilang aku ini sangat selektif dalam menentukan hal apa saja yang harus kepelajari. Mempelajari hal-hal yang tidak berguna demi masa depanku hanya akan membuang waktu saja,” ungkapku datar, hanya untuk menutupi prinsipku sebagai orang yang tak suka hal-hal yang merepotkan.

“Bapak kan tahu, aku anak satu-satunya pewaris kekayaan orang tuaku yang memiliki salah satu perusahaan terbesar di Asia. Kalo sekolah cuma kujadikan tempat bermain, nggak apa-apa kan?” jawab si anak glamor.

“Bosan, Pak. Di sini hanya ada orang-orang lemah. Aku ingin berkelahi dengan orang yang kuat!” jawab si otot besar dengan bangganya.

“Menulis, menghitung, membaca, berpikir, berkeringat. Aduh, Pak, apa nggak ada kegiatan yang lain yang lebih cocok dengan penampilanku?” sambut si cewek sok sempurna.

Jawaban bervariatif tercetus dari kami berempat dengan pola pikir berbeda-beda namun nyatanya memiliki tujuan yang sama. Fakta ungkapan Bhineka Tunggal Ika memang benar-benar melekat dalam diri kami.

Pak Wijaya menggerak-gerakkan alisnya. Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang meredam emosi yang meletup-letup. Hidungnya yang berbentuk segitiga tak beraturan itu kembang kempis seperti gunung berapi yang siap memuntahkan upil panasnya. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya. Bila aku boleh memberi saran, sebaiknya ia menghirup napas dalam saat aku sedang membuang angin. Agar ia tahu perbedaan antara harum bunga lavender dengan harum bunga yang tumbuh di neraka.

Tanpa mengulur waktu lagi, Pak Wijaya segera menanyai kami satu per satu. 

“Masalahnya memang berasal dari kalian sendiri. Huuuhh,” keluhnya. “Tentang membolos mata pelajaran akan kuatur nanti. Sekarang saatnya tentang kegiatan ekstrakurikuler. Kalian tahu mengapa SMA kita ini bernama SMA Sayap Impian? Ini adalah SMA yang mendidik serta mengembangkan bakat dan potensi yang kalian miliki tidak hanya dalam pelajaran. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler disediakan untuk mengembangkan minat dan bakat siswanya. Dari mulai bidang olahraga, beladiri, tataboga, seni, sains, teknologi, bahkan keterampilan dengan tutor yang handal,” jelasnya panjang lebar.

“Artifa,” lanjut Pak Wijaya. “Kamu kan anak aktor dan penyanyi, kenapa kamu tidak ikut dalam ekstrakurikuler seni, drama, atau paduan suara?”

“Pak ... Pak, memangnya anak aktor dan penyanyi harus mengikuti jejak orang tuanya? Pemikiran anda kuno, Pak.”

Lihat selengkapnya