CORONG SPEAKER

Raja Muda Hasibuan
Chapter #5

CORONG SPEAKER (2)

Ruangan berukuran 5x6 meter ini terletak di tempat paling sudut di sekolah. Bahkan terpisah dari tiga gedung utama. Seperti ruangan penangkaran. Sangat dekat dengan lubang sampah. Aroma terapi yang berpotensi untuk membunuh banteng dalam sekejap juga ikut mewarnai suasana ruangan ini. Di dalamnya terdapat sebuah kursi dan meja tepat mengarah ke pintu, persis seperti meja Pak Wijaya di ruangannya. Tempat duduk yang sangat pas untukku. Juga ada beberapa kursi kayu dan sebuah sofa tak terpakai di dalamnya. Dan ada sebuah balai-balai yang mungkin bisa digunakan untuk tiduran walau keempukannya sangat diragukan. Tak ada AC seperti ruangan ekstrakurikuler yang lain, yang ada hanya kipas angin yang menggantung penuh jaring laba-laba di langit-langit yang tak bisa kujamin masih berfungsi.

Aku segera masuk dan menuju kursi dan meja utama yang pertama kali kulihat. Terlambat. Dengan kecepatan yang tak tertangkap oleh mataku, Tifa langsung duduk di kursi itu dengan kaki yang diselonjorkan ke atas meja. Benar-benar mencerminkan sikap tuan puteri bijaksana di kerajaan Eropa zaman medieval. Yang membuat pangeran mana saja jatuh hati untuk membakarnya dengan bumbu barbeque.

“Oy, apa kamu yakin duduk di situ?” aku segera bertanya demi kepentinganku.

“Ha?” balasnya dengan tatapan sinis.

Cih! Rasanya ingin kupanah bibirnya dengan karet gelang.

Artifa Melodi. Siswi kelas XI-4 IPA. Bila dilihat dari urutan kelasnya, jelas dia ada setingkat di bawahku. Ibunya seorang penyanyi dan ayahnya seorang aktor. Bukan hal yang mustahil bila dirinya memiliki kemampuan menyanyi ataupun berakting. Parasnya memang bisa membuat cowok mana pun terpana melihatnya. Kecuali aku. Belum lagi kulitnya yang putih terawat dengan rambut hitam legam panjang bergelombang. Sungguh suatu kesempurnaan bila hanya dilihat dari fisik.

“Kamu mau duduk di sini? Berlutut dulu padaku!”

Kecuali lidahnya yang membuat siapa pun yang mendengarnya ingin menghunuskan kaos kaki kotor yang sebulan tak dicuci dengan kadar bau busuk yang mampu membunuh seekor hewan tak berhidung. Aku menjulukinya dengan Queen Cobra.

“Kursi dan meja kayu. Sofa busuk. Kipas angin rongsokan. Balai-balai yang tak nyaman dilihat. Haaah ... aku harus segera mengganti ini semua dengan yang baru,” keluh Pito mulai bergabung.

Vepito Rizat. Bocah kaya raya kelas XI-4 IPS. Penampilannya tak begitu mencolok bila tak diperhatikan dengan baik. Tubuhnya ramping, sedikit pendek, dengan wajah yang terlihat kekanakan. Kurasa dia lebih cocok duduk di SMP. Orang tuanya adalah pemilik salah satu perusahaan terbesar di Asia dan menyebar di mana-mana. Tidak heran bila segala sesuatunya ingin didapatkannya dengan menggunakan uang. Uang hanyalah masalah kecil, karena dalam hidupnya uang itu selalu mengalir seperti air keran. Namun perlu diingat. Roda selalu berputar, kecuali bila kau memasangkan rem di porosnya. Kulambangkan ia dengan kucing ashera.

“Gampang betul ya bicara begitu. Mentang-mentang punya banyak uang. Tapi, kamu cuma bisa bergantung pada uang. Tanpa uang kamu itu cuma orok yang tak bisa berdiri dengan kedua kakimu sendiri,” balas Tifa. Lagi dengan kata-kata pedasnya.

“Masalah buatmu? Memangnya kenapa? Aku punya uang, dan aku tak perlu berdiri dengan kaki sendiri. Berdiri di atas kaki orang lain malah jauh lebih menyenangkan. Terasa sangat berkuasa,” Pito tak mau kalah. Mungkin sisi tiraninya sudah terpupuk secara alami sejak ia menetas dari rahim ibunya.

“Woy! Woy! Apa sih yang kalian omongkan? Sungguh nggak jantan sama sekali. Dimana-mana yang paling menggiurkan itu adalah kekuatan. Kecantikan dan kekayaan tidak diperlukan dalam pembentukan otot!” Eru mulai terjerat di lubang WC yang sama.

Eruvin Muskula. Siswa kelas XI-1 IPS. Kelas urutan terendah. Bisa ditarik kesimpulan dia pasti memiliki kemampuan berpikir sederhana. Tubuhnya tegap, tinggi, dengan otot-otot menonjol yang menjijikkan. Kulitnya kecoklatan, dengan rambut hitam lurus. Ayahnya adalah seorang Kolonel TNI. Sudah bisa dipastikan kalau orang tuanya mendidiknya dengan tegas dan membekalinya dengan berbagai seni bela diri. Hobinya yang selalu ingin berkelahi itu membuatku tak ingin berlama-lama di dekatnya. Sosok hewan yang cocok baginya adalah gorila.

Dan kini aku menyaksikan pertempuran sengit antara gorila, kucing ashera, dan queen cobra. Kalau sudah begini seorang pahlawan harus menghentikannya.

“Ehem, karena kita dipaksa disatukan menjadi sebuah tim, sebaiknya kita saling berkenalan dulu,” walau aku sudah muak membaca bet nama mereka di seragamnya. “Namaku Ranka Cerebrio, panggil saja aku Ranka.”

Kelihatannya aku berhasil. Sorot mata mereka menatap hening padaku. Pandangan jijik seperti melihat kotoran ayam.

“Aku nggak mau kenalan sama orang yang nggak punya sisi menarik di tubuhnya. Lupakan permintaanmu itu!” ujar si queen cobra. 

Sebaiknya buka matamu itu lebar-lebar. Apa kamu kira aku sedang melamar pekerjaan? Harus berpenampilan menarik? 

“Maaf, aku nggak ada niat membayarmu untuk mengenalkan diri. Saranku sih, jangan bikin hal-hal yang nggak kupinta,” sambung si kucing ashera dengan gaya angkuhnya. 

Apa memang segala sesuatunya harus berjalan sesuai dengan perintahmu? Mati saja kau tertimbun oleh tumpukan uangmu itu.

“Wow! Kenalannya gimana nih? Adu kekuatan? Gimana kalo kita adu jotos dulu, baru kita berkenalan? Hehehe,” tawar si gorila. 

Mungkin dia satu-satunya yang menyambut perkenalanku, tapi caranya itu tak normal. Kalau ada orang yang mau berkenalan dengan syarat babak belur terlebih dahulu, aku akan segera menyiapkan batu nisan untuknya.

Menyatukan kami berempat di tempat ini memang ide yang sangat buruk. Belum lagi markasnya ini. Terlalu di pojok sekolah. Aku yakin para siswa akan menganggap ini adalah ruangan pemanggil roh daripada disebut ruangan biro konsultasi dan sukarelawan sekolah. Belum lagi pasti mereka pasti malas bila harus datang ke ruangan ini. Tidak hanya itu, bagaimana bila suatu hari hanya aku yang bisa hadir di sini. Seorang diri di sudut sekolah sama sekali tidak lucu. Bisa saja ada skenario tak terduga seperti ini:

“Per ... mi ... si ...,” seorang nenek-nenek kumal bersuara parau dengan rambut urakan dan kuku yang panjang muncul tiba-tiba di depan pintu.

Lalu aku menjawabnya dengan sedikit gemetar, “I-iya, ada yang bisa dibantu? Tolong ja-jangan makan saya.”

“Isi ... pulsa ... dong, lima ribu aja,” jawab nenek itu. Kemudian aku mengantarnya ke konter pulsa yang tepat.

Benar-benar tidak lucu. Karena merasa pusing memikirkan hal barusan, aku mengambil sebuah kursi kayu dan duduk di dekat pintu sambil menonton lanjutan perdebatan mereka di sekeliling meja itu.

“Permisi.”

Aku tersentak dari kursiku akibat mendengar suara itu tepat di telingaku. Mengagetkan saja. Segera ku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata hanya seorang anak perempuan sekolah kami.

“Ini ekstrakurikuler khusus, biro konsultasi dan sukarelawan sekolah, kan? Boleh aku minta bantuan kalian?” tanyanya.

Rupanya pelanggan pertama. Tak kusangka di hari pertama kami sudah mendapat kerjaan.

Lihat selengkapnya