“Kegiatan konsultasi dan sukarelawan kita ini tampaknya makin terkenal. Dan namanya terlalu panjang. Untuk itu sebaiknya kita bikin sebutan untuk tim kita ini. Gimana?” kuusulkan saran kepada tiga rekan setimku.
“Apa pun, asal harus elegan. Aku tak mau nama yang menjatuhkan reputasiku,” komentar Tifa.
“Ide bagus. Yang keren ya?” balas Eru.
“Aku malas berpikir, jadi kamu saja yang bikin ya, nanti kubayar,” ujar Pito.
Sesuai rencana. Sudah kuduga mereka akan menyerahkan padaku untuk hal yang semacam ini. Baiklah, aku takkan menarik diri lagi.
“Oke, aku sudah memutuskan nama tim kegiatan kita ini beberapa hari lalu. Namanya adalah Corong Speaker.”
Tak ada respon dari mereka. Yang ada hanyalah tatapan kebingungan dari dua anak laki-laki dan tatapan menentang dari Tifa.
“Hah? Apa-apaan itu? Sudah kubilang jangan memilih nama yang aneh-aneh kan?” Bila dilihat dari sudut pandang orang ketiga, agaknya Tifa keberatan.
“Hmmm ...,” Eru dan Pito hanya bisa menggumam.
“Biar kujelaskan. Aku tak memberi nama hanya sekedar acak tanpa memiliki arti,” ujarku membela diri.
“Ha? Jadi artinya apa?” Tifa melipat tangan dan menunggu penjelasanku.