CORONG SPEAKER

Raja Muda Hasibuan
Chapter #8

Hanya Mengingat Hal-Hal yang Dilupakan (1)

Bel mata pelajaran terakhir berdentang. Teman-teman sekelasku memasukkan buku-bukunya ke dalam tas untuk segera beranjak ke ruangan ekstrakurikuler masing-masing. Aku masih terduduk di kursi. Mengamati beberapa siswa terakhir yang beranjak meninggalkan kelas. Hingga hanya aku yang tersisa di dalam kelas. Keheningan menyergap. Melihat kelas yang sudah sepi ini mengingatkanku pada satu judul film horor. Bangku kosong. Bedanya, bila di film hanya ada satu bangku yang selalu kosong. Sedangkan kali ini, semua bangku kosong kecuali bangku yang kududuki. Bila demikian, jauh lebih baik disebut dengan bangku berisi.

Daripada memikirkan hal yang tidak penting, lebih baik kuamati pemandangan ke arah luar jendela kaca kelasku. Apa karena aku terlalu jarang melihat ke luar jendela atau aku baru menyadarinya, pemandangan ini sungguh ingin membuatku menangis. Pagar tembok beton menjulang dari sisi ke sisi, tak ada yang lain. Oleh karena itu kuputuskan untuk segera meninggalkan kelas. Sangat tidak penting.

Bicara soal penting, hari Minggu yang lalu aku sempat berdebat mengenai kematian seseorang di warung dekat rumah. Biasalah kalau di warung itu banyak orang-orang yang suka nongkrong sambil mengobrol. Tanpa sengaja, aku mendengar ucapan mereka tentang seorang remaja yang baru meninggal. Mereka menyimpulkan bahwa orang yang baik hati dan tidak terlalu banyak ulah pasti cepat meninggal. Omong kosong. Karena ucapan mereka itu aku langsung terpancing.

“Orang baik? Justru menurutku dia cepat meninggal karena Tuhan lebih tahu dia tidak penting dan tidak ada gunanya lagi dibiarkan hidup di dunia. Dia tidak bisa memberikan kontribusi apa pun untuk dunia ini. Tidak punya skill atau kemampuan yang berguna untuk lingkungan atau suatu badan. Daripada ia nanti hanya membuat onar, bukankah justru lebih baik ia ditarik dari dunia ini?”

Mendengar ucapan spontan dariku, beberapa pasang mata langsung menoleh dan memelototiku. Tentu saja ini sedikit mengintimidasiku. Bila dipikir-pikir lagi, ucapan dariku itu sedikit kejam. Atau mungkin sangat kejam. Tapi cukup masuk akal kan?

Aku masih dihujani dengan tatapan menyengat itu. Sampai akhirnya aku menambahkan sesuatu hal untuk mendinginkan suasana. “Iya, sama sepertiku. Aku juga belum bisa memberikan kontribusi apa pun untuk dunia ini, untuk negara ini. Untuk bangsa kita. Jadi mungkin saja aku juga bakal berusia pendek sepertinya.”

Namun percuma saja, tatapan sinis mereka tidak berkurang. Oh, aku dan mulut besarku. Dari tatapan mereka itu bisa ditarik kesimpulan bahwa aku harus segera menarik ucapanku. Oke, aku terima tantangan itu.

“Baiklah, aku tarik kata-kataku tadi. Sekarang aku harus buru-buru pulang sebelum matahari terbenam,” ujarku segera ngibrit pulang. Padahal jam tanganku masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Untuk beberapa hari ini sebaiknya aku tak usah pergi ke warung itu dulu.

Tidak ada salahnya kan mengemukakan buah pikir? Itu hanya persepsiku. Sekalipun itu salah, tidak selayaknya juga aku dihadiahi tatapan tak nyaman begitu. Orang yang berani mengutarakan pendapat adalah seorang pemikir. Setidaknya lebih baik daripada orang-orang yang tak suka berpikir dan hanya manggut-manggut dengan apa saja yang didengarnya. Kalau begitu aku termasuk orang yang masih ada gunanya, dan tidak akan mati di usia muda!

Akibat mengingat-ingat hal itu, aku hampir tak sadar kalau aku sudah sampai di ruangan kegiatan kami. Ada seseorang yang berdiri mematung di depan pintu. Sepertinya anak kelas tiga.

“Anu, Kak. Ada yang bisa dibantu?” sapaku ramah dengan wajah datar.

Ia menoleh. Dengan wajah yang datar pula. Bedanya, wajahku datar karena ekspresiku. Sedangakan wajahnya datar karena hidungnya hampir tidak kelihatan.

“Oh,” tanggapnya. “Begini, aku datang ke sini, tapi aku bingung mau ngapain. Kamu bisa bantu aku beri tahu kenapa aku bisa datang ke sini?”

Pertanyaan yang membodohi. Kau tidak mungkin datang ke suatu tempat tanpa tujuan kan? Orang bosan yang tidak punya tujuan untuk pergi ke mana juga punya tujuan untuk menghilangkan kebosanannya.

“Sebaiknya kakak kembali saja ke ruang ekstrakurikuler kakak untuk mengingat-ingat. Mungkin kakak cuma lupa,” saranku sambil berlalu memasuki ruangan.

Pito, Tifa, dan juga Eru sudah berada di dalam. Eru memainkan tinju-tinjunya ke udara. Sementara Pito dan Tifa duduk santai di atas sofa baru dengan menikmati sejuknya udara dari AC. Pito benar-benar membeli AC untuk ruangan ini, ditambah lagi ia juga membeli kulkas, tv, dan sofa yang terlihat nyaman.

“Emang sekolah kasi izin ke kamu memasang barang-barang ini di sini?”

“Memangnya kamu pikir aku siapa? Mereka setuju karena aku yang akan menanggung semua tagihan listrik sekolah ini tiap bulannya,” jawab Pito.

Sampai sekarang aku tak bisa membedakan antara dermawan dan bodoh bila melihat Pito. Si anak konglomerat. Semua bisa diaturnya dengan uang. Tapi setidaknya, belikan juga kursi dan meja yang baru untukku sebagai ketua di sini. Apa aku kurang begitu dianggap?

Tas sekolahku kusangkutkan di sebuah paku yang menonjol di dinding. Lalu aku segera beralih ke kursiku. Baru saja aku terduduk ....

“Enak ya di sini, sejuk.”

Kakak kelas yang tadi berdiri di depan pintu masuk kini sudah duduk di hadapanku. Aku hampir melompat ke atas meja. Bukannya tadi dia kusuruh untuk balik ke ruangannya?

“E ... udah ingat, Kak?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Ingat apanya?” ia balik bertanya. 

“Ya ... ingat, ingat tujuannya ke sini mau ngapain?”

Lihat selengkapnya