“Ah, itu, Kak Lucario, kan? Dari kelas XII-6 IPA?” ujarnya. Kulihat ia membawa bungkusan di tangannya.
“Iya, kenapa?” tanyaku singkat.
“Ah, tidak, tidak. Dia cukup populer di kelasku. Banyak teman-teman cewek yang membicarakannya.”
“Oh, kamu udah mulai punya teman, sekarang?” tanya Eru senang. Liam mengangguk gembira. Pito mendengarnya riang. Tifa biasa aja.
“Ini, makanya aku bawa makanan sebagai rasa terima kasihku. Kuharap kakak-kakak mau menerimanya,” Liam menyodorkan bungkusan itu. Tangan besar Eru langsung menyambarnya dengan kecepatan terkaman seekor gorila.
“Mengenai yang barusan kamu bilang, kamu punya informasi tentang Kak Luca?” aku kembali bertanya.
“Hmmm ... nggak begitu banyak sih, Kak. Yang aku dengar, banyak cewek yang naksir dia karena kepintarannya. Ia sangat cerdas. Bisa menghapal satu buku pelajaran hanya dalam sekali baca. Ia juga pintar menyelesaikan soal-soal matematika yang rumit hanya dalam sekejap. Dia adalah siswa yang memegang nilai tertinggi dari seluruh kelas XII. Gitu sih katanya,” papar Liam agak bersemangat. Mungkin ia juga menaruh hati pada kakak itu.
Begitu ya? Tidak heran kalau dia bisa berada di kelas unggulan. Dibalik sifatnya yang pelupa itu, ternyata ia punya kelebihan yang tak dimiliki semua orang. Ia sangat pintar dan mudah mengingat pelajaran. Eh, tunggu! Justru sebaliknya. Karena kemampuannya yang super dalam pelajaran, dia malah susah untuk mengingat hal yang lain. Kalau begitu, masalah ini terselesaikan.
“Terima kasih, Liam. Kamu sangat membantu,” ujarku dengan sunggingan senyum.
“Ah, eh, nggak, Kak. Ngomong-ngomong aku bantuin apa ya?” wajah Liam berubah bloon. Dia ini lemot juga ternyata.
Mungkin bila saat ini aku bercermin, wajahku pasti terlihat lebih cerah dari yang tadi. Wajah setelah memecahkan masalah itu memang lebih menarik dilihat daripada wajah yang tertimpa masalah. Karena hal itu, aku juga jadi ingin mencicipi makanan yang dibawa Liam tadi. Saat kumenoleh ke arah tiga rekanku, terlihat jelas ketiganya bengong menatapku dengan kedua pipi menggembung karena penuh dengan makanan. Lalu ketiganya serempak menelannya berbarengan. Menyisakan wadah bekas makanan yang kosong.
Norak! Norak! Tidak berkelas dan memalukan! Apa mereka benar-benar anak dari orang-orang hebat?
“Liam, lain kali kalau mau bawa makanan lagi, tolong sisihkan satu tempat yang spesial buatku.”
Reliam hanya bingung tak mengerti.
***
Bila dipikir lebih jauh, seharusnya Kak Lucario ini bersyukur. Tidak banyak orang yang bisa melupakan sesuatu dalam sekejap. Kemampuan ini jelas membuat iri para remaja yang sedang patah hati di luar sana, untuk bisa cepat melupakan sang mantan dan segera bangkit dan melangkah ke depan. Seandainya kemampuan ini bisa dibagikan, daripada harus memberikan solusi, lebih baik aku memanfaatkannya. Sel-sel pelupa dari otak Kak Lucario akan kuekstrak, lalu kujual dan kuinjeksikan pada remaja patah hati yang membutuhkan agar bisa segera move on.
Setidaknya begitulah yang terjadi di pikiranku bila aku sedang bosan menunggu. Kak Lucario masih belum juga menunjukkan tepi lidahnya. Suara ketukan jariku menggema di seluruh ruangan.
“Ranka, kamu ngapain?” suara yang familiar terdengar.
“Nungguin Kak Lucario lah. Siapa lagi?” jawabku.
Eru memalingkan wajah sekaligus membuang napasnya. Kemudian kembali menatapku. “Sepertinya penyakit pelupa itu menular dengan cepat ya? Sekalipun sampe azan maghrib, Kak Lucario gak bakal datang ke sini.”
“Oh, dia memang lupa ya? Biar kujemput saja ke kelasnya.”
“Bukan, bodoh! Justru aku yang datang ke sini menjemputmu. Kak Lucario dari tadi udah nunggu di ruangan kita!”
“Ha?”
Aku terperangah. Segera ku mengeksplorasi ruangan ini dengan kedua bola mataku. Yang terlihat adalah puluhan kursi dan meja berjajar rapi di hadapanku. Dengan sebuah papan tulis di belakangku. Ini pasti karena aku berjalan sambil melamun tadi.
Agaknya aku meremehkan Kak Lucario. Atau pernyataan Eru barusan itu ada benarnya. Sudahlah, sebaiknya aku segera bangkit dan beranjak dari ruangan ini.
“Sebaiknya kamu pura-pura menutup mata dan telinga atau aku akan berusaha mengorek rahasiamu dan mempermalukanmu,” ancamku pada Eru.
Eru hanya terdiam tak mengerti. Tentu saja. Aku tak mau image-ku sebagai cowok cerdas ini tercoreng karena aku menunggu seseorang di tempat yang salah. Namun, berjalan di depan mendahului Eru ini terkesan elegan. Seperti seorang raja yang dikawal oleh pengawal kekar menuju tahtanya.
“Ah, maaf, Kak. Aku ada urusan sedikit di kelas,” ujarku begitu sampai di ruangan Tim Corong Speaker. Kulihat Kakak berambut sangat pendek ini sudah duduk di kursi biasa yang disediakan.