Pada awal-awal jatuh cinta dan mendapat balasan cinta, kau akan merasa dirimu adalah manusia paling bahagia di dunia. Kau akan melupakan segala hal yang tidak penting di hidupmu. Semua yang kosong di dalam dirimu seolah terisi penuh dengan partikel-partikel kelembutan, kehangatan, kesejukan, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Tetapi apabila kau ditinggal begitu saja oleh orang yang paling kausayangi tanpa ada penjelasan, kau akan berubah menjadi orang yang paling menderita di dunia – menurutmu. Kemudian kau akan menyumpah-serapah dan memohon agar karma segera menimpa mantan pasanganmu itu. Agar sang mantan, merasakan hal yang sama seperti dirimu. Akan tetapi, bukankah justru lebih menyakitkan? Saat sang mantan merasakan bagaimana rasanya ditinggal tanpa alasan yang jelas, bukankah berarti sang mantan lebih sayang pada pasangan barunya ketimbang kamu saat bersamanya dulu? Kau tetap kalah, kan?
Kemudian masalah berenang. Sebagai manusia yang menjunjung tinggi keselamatan diri, aku menolak untuk melakukan hal-hal membahayakan kehidupanku seperti berenang. Berenang merupakan tindakan menyerahkan jasad hidup pada air dan berharap bisa terapung di atasnya. Untuk sebagian orang, hal ini mudah untuk dilakukan. Tetapi aku tak pernah bisa mengerti kenapa air kolam benci padaku. Tiap kali aku masuk ke dalamnya, mereka seolah menyeringai dan menelanku seutuhnya ke dalam tubuhnya. Entah sudah berapa kali aku harus diselamatkan penjaga kolam.
“Jadi kau ingin diajari berenang?” tanyaku pada seorang siswi manis berkawat gigi di hadapanku. Rambutnya hitam panjang sebahu dan kulitnya kuning langsat.
“Iya, bisa kan?” tanyanya dengan wajah dan tatapan berbinar.
Aku mengernyitkan dahi. “Kenapa nggak ikut ekskul berenang aja? Atau latihan ke guru olahraga langsung. Kenapa datang ke mari?”
Ia melempar pandangan ke samping dengan bibir seperti mengejek. Raut wajahnya tampak kesal. “Aku tak suka didikan dari guru dan ekskul. Aku serasa tertinggal dari mereka. Aku tak ingin merepotkan mereka.”
“Jadi kau gak sungkan merepotkan kami?”
“Kalian kan ekskul sukarelawan, gak apa-apa dong direpotkan.”
Biadab! Makhluk tidak tahu diri seperti ini seharusnya tidak perlu diciptakan. Atau setidaknya diciptakan tapi bukan dalam bentuk manusia. Ia lebih cocok dijadikan sapi perah agar hidupnya lebih berguna dan tidak dengan sengaja merepotkan orang lain seperti ini. Nama siswi ini adalah Melvina Delia. Siswi kelas XI-3 IPS yang berpenampilan sedikit nyentrik dengan kawat gigi dan make-up tipis di wajahnya. Pakaiannya yang sedikit ketat dan wangi tubuhnya yang sangat semerbak ini pasti membuat pria-pria menoleh cepat padanya namun juga membuat siswi lain membencinya. Tipikal musuh para wanita yang tak punya teman sepertinya. Lagi pula berapa banyak parfum yang disemprotnya hingga seisi ruangan ini jadi harum karena dirinya?
“Ehm ... untuk urusan ini sepertinya Eru lebih paham. Mungkin kau bisa minta tolong pada Eru saja.”
“Benarkah? Eru bisa bantu? Waaahhh ...,” matanya semakin berbinar.
“Yep! Serahkan padaku! Untuk urusan fisik, aku ahlinya. Corong Speaker mendengarnya!” seru Eru bersemangat.
Sementara yang tidak bersemangat adalah Tifa. Dari tadi ia memasang wajah jutek saat Melvina masuk ke ruangan ini dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Mungkin dugaanku benar. Perempuan ini memang musuhnya perempuan-perempuan lain. Sambil memperhatikan Eru yang sedang memamerkan otot-ototnnya pada klien kami, aku mengetuk-ngetukkan jariku di atas meja. Ada sesuatu hal yang mengganggu pikiranku sekarang.