CORONG SPEAKER

Raja Muda Hasibuan
Chapter #12

NYANYIAN HANTU MALAM HARI DI SEKOLAH (1)

“Hey, Ranka, cewek idamanmu seperti apa?”

Wajah Tifa sedikit mengerut sambil memegang kartu remi di tangannya. Ini adalah pertanyaan yang menurutku tak perlu dibahas sekarang. Terjebak di ruangan ekstrakurikuler ini selama sebulan lebih agaknya telah menumbuhkan keakraban di antara kami.

“Memangnya kenapa?” balasku sambil melempar sebuah kartu remi yang sedang kami mainkan di atas meja.

“Nggak, cuma nanya. Aku juga lagi bingung menentukan tipe pria idamanku.”

Kata-katanya barusan menarik bola mataku untuk segera menatap wajahnya. Kemudian pandanganku turun ke bawah, ke arah dadanya. Cukup lama aku fokus pada arah pandangan yang itu.

“Apa yang kamu lihat?!” hardik Tifa sambil menutupi bagian dadanya dengan kedua tangannya. Sosok beringasnya sebagai ular berbisa muncul.

“Tidak,” jawabku kalem. “Aku hanya heran kenapa seorang primadona kelas dengan wajah menawan memiliki ukuran dada sedikit di bawah standar.”

“Ka-ka-kamu ... jangan senaknya menilai tubuh wanita langsung di hadapannya! Itu menjijikkan!”

“Kamu tak perlu marah. Aku hanya bicara jujur.”

“Hngggh ...,” geramnya. “Apa semua pria memang selalu memikirkan hal itu ya?”

“Kalau untuk ukuran normal dan rata-rata, seharusnya iya.”

“La-lalu, ukuran standar itu yang bagaimana?” wajahnya memerah.

“36.”

Tifa segera melirik ke arah bagian dadanya. Dengan wajah yang masih malu-malu itu, ia memberanikan diri untuk menanyakan perihal dirinya.

“Ka-kalau punyaku?”

“30!” jawabku tegas.

Tangan Tifa bergerak tepat ke arah pipiku. Dengan kecepatan tangan seperti itu, masih memberikanku cukup waktu untuk menghindar.

“Bohong. 32 kurasa,” jawabku menghiburnya. “Lagipula kamu tidak perlu memikirkan orang yang bakal jadi pendampingmu sekarang. Itu masih jauh di depan.”

“Tidak bisa begitu!” bantahnya. “Seorang perempuan berbeda dengan laki-laki. Hal yang sangat diimpikan wanita kebanyakan adalah menikah. Wanita sangat terpaut dengan usia. Bila terlalu lama sendiri, ia akan langsung dicap sebagai perawan tua. Itu sungguh menakutkan!” jelas Tifa.

Entahlah, aku tidak mengerti soal itu. Mungkin baginya kesepian akan semakin terasa seiring bertambahnya usia. “Lantas, kenapa tanya ke aku?”

Tifa kembali menenangkan dirinya.

“Aku cuma ingin dengar dari sisi laki-laki memandang wanita. Bagaimana tipemu?”

“Hmmm ..., mungkin yang berambut panjang sepinggul, sedikit dingin, sedikit cuek. Senyumnya mampu melumpuhkan siapa pun yang memandangnya. Tatapannya tegas, anggun, dan mengintimidasi,” tuturku sambil membayangkan wajah cewek kelas XI-6 IPA yang kukagumi sejak kelas satu.

“Itu kuntilanak ya?”

“Sembarangan!”

“Habisnya tipe cewek idamanmu aneh gitu.”

“Hmmm ... biar sedikit kutambahkan. Cerdas, lugas, dapat diandalkan. Memiliki kharisma yang memesona, juga berwibawa.”

“Tunggu, ada seseorang yang terlintas di benakku. Hmmm ... Safir Aurora kelas XI-6 IPA, wakil ketua osis, dia anggun, tegas, cantik, berwibawa, pas sekali dengan tipemu. Kamu kenal dia?”

Tifa langsung menebak pikiranku tepat sasaran. Kalau soal ini, aku harus menyembunyikannya rapat-rapat. Setengah jiwa ragaku mengatakan bahwa Tifa ini bermulut ember, jadi sebaiknya tak perlu menceritakan hal pribadi padanya.

“Eh, ah? Masa sih? Aku baru tau, yang mana orangnya?”

“Kamu beneran gak kenal?” Tifa mengangkat sebelah alisnya. “Aku sungguh membencinya. Dia itu sangat populer. Lebih populer dariku. Dia pemegang peringkat pertama untuk tingkat kita, tingkat XI. Sama kayak Kak Lucario yang jadi peringkat utama di tingkat tiga,” papar Tifa.

Lihat selengkapnya