“Yeahhh! Akhirnya dia nya ....”
Langsung kubungkam mulut Eru yang berteriak semangat itu sambil menepok jidatnya berkali-kali. Ini hukuman yang tak seberapa bila dibandingkan persentase kemungkinan kaburnya si hantu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh laboratorium Universitas Ranka Cerebrio menyatakan bahwa penyergapan akan gagal apabila sasaran mengetahui kalau dia bakalan disergap.
“Lepas alas kaki kalian. Kemudian berlari-lari kecil ke lantai tiga tanpa menimbulkan suara. Setelah itu – Eru – sebagai yang tergesit di antara kita, langsung membuka pintu ruangan dengan cepat dan kita masuk ke dalamnya. Simpel kan?” perintahku.
Tentu saja. Hanya ini satu-satunya yang bisa dilakukan. Aku tak bakal mau memanjat ke lantai tiga dari sisi belakang gedung ala panjat tebing. Selain karena gelap dan mengancam keselamatan, juga sangat membuang waktu.
Kami segera bergerak, berlari mengendap sambil menenteng sandal menuju lantai tiga. Asyik juga ternyata. Seperti seorang ninja menyelinap ke dalam istana. Dengan tatap mata yang serius. Serius melihat lorong kelas agar tidak menabrak sesuatu karena gelap. Hal yang paling dijaga saat berlari dengan telanjang kaki begini adalah jari kelingking kaki. Bila kelingking kaki membentur sesuatu dengan kecepatan seperti ini, rasa sakitnya bisa dilukiskan dengan warna siaran tivi yang lagi off saat dini hari.
Langkah kaki serempak diperlambat. Ruang paduan suara sudah di depan mata. Suara nyanyiannya semakin kuat terdengar. Sekilas bulu kudukku meremang dan membuatku merinding. Suara yang sungguh seram. Bahkan Tifa dan Pito langsung meraih kedua tanganku sambil merinding dan mengeluarkan air mata.
Untuk beberapa saat, kami semua berdiri mematung untuk menguatkan diri dari suara nyanyian yang seram ini. Masih bisa kurasakan gemetar tangan Tifa dan Pito yang menggenggam tanganku. Untuk pertama kalinya, aku jadi sedikit yakin bahwa suara ini lebih seram dari suara hantu. Sungguh, aku tak ingin mendekatinya. Cukup beralasan bila Pito dan Tifa menangis penuh haru mendengar suara yang lebih tepat bila disebut auman singa radang tenggorokan dengan intonasi false di tiap nadanya. Tapi, hal ini cukup membuktikan bahwa penyanyinya bukanlah hantu
“Baiklah, kuatkan diri kalian. Kurasa sudah cukup untuk menghayati suara hantu itu,” ujarku serius. “Sekarang saatnya penyergapan dimulai. Dalam hitungan keempat, buka pintu ruangan ini secepatnya, Eru!” perintahku.
“Em, empat?”
“Iya, kamu nggak dengar?”
“Kenapa nggak normal aja? Tiga,”
“Tim kita harus punya ciri khas. Aku ingin selalu ada perbedaan dalam setiap yang kulakukan. Dan jumlah anggota kita ada empat orang. Tidak perlu banyak tanya, lakukan saja perintahku.”
Eru akhirnya menurut saja. Setidaknya aku tidak membatasi semangatnya untuk menghajar hantu itu.
“Satu ... dua ... tiga ... empat!”
BRAKKK! Eru mendobrak pintu dengan keras. Suara nyanyian lenyap. Tak ada siapa pun terlihat. Hanya ada sebuah lilin di tengah ruangan. Persis seperti kata Pak Penjaga sekolah. Aku segera masuk dan mengamati tiap sisi dan sudut ruangan.
“Jangan nyalakan dulu lam ....”
Klik! Lampu ruangan dinyalakan. Kata-kataku terlambat. Bila aku tak memiliki kesabaran yang cukup, aku pasti sudah membenturkan kepala Pito berkali-kali ke saklar lampu itu.
“Benar! Nggak ada siapa-siapa,” Pito takjub.
Aku berbalik menatap Pito dan mendekatinya. “Pito, hantu-hantu biasanya muncul di tempat yang seperti apa?” tanyaku serius.
“Hmmm ... angker, kotor, gelap, yang serem-serem,” jawabnya.
“Kamu pernah lihat ada hantu muncul di tempat yang terang?”
“Belum pernah.”
“Lalu apa yang barusan kamu lakukan?”
Pito memutar bola matanya tiga ratus enam puluh derajat. Kemudian nyengir. “Tapi aku juga belum pernah lihat hantu di tempat gelap. Jadi gak apa-apa dong.”
Alasan yang masuk akal. Tapi bukan itu maksudku. Semua hantu tak akan muncul di bawah cahaya kan? Jadi bila ingin melihat hantu, biarkan ruangannya tetap gelap. Setidaknya remang-remang.
“Eh? Bukannya sedari tadi kamu nggak percaya sama hantu. Terus, kenapa malah pingin melihatnya?” Tifa merasa heran dengan sikapku.
“Apa landasan pemikiranmu hingga kamu bisa ngomong begitu? Membiarkan ruangan ini tetap gelap adalah syarat untuk membatasi pergerakannya. Dia takkan bisa kemana-mana. Karena bila ia mencoba kabur dan menabrak sesuatu di ruangan yang gelap, kita akan lebih mudah menangkapnya.”
“Tapi ruangan ini kan kosong. Lihat! Cuma ada beberapa kursi lipat di sudut ruangan, sebuah organ, dan perlengkapan musik di lemari itu. Menabrak udara takkan menimbulkan suara yang kuat kan?” sangkal Tifa.
“Kalau begitu aku yang salah,” ujarku.
Sejujurnya perkataanku sejak awal memang sudah salah. Hanya saja aku tak ingin cepat membeberkannya. Mengakui kesalahan terlalu cepat akan membatasi kemampuan berpikir.
“Nggak ada kan, Nak? Lihat! Kosong. Yang waktu bapak temui juga kayak begini,” ujar pak penjaga.
Aku berjalan ke tengah ruangan. Kemudian memerhatikan setiap sudut ruangan ini dengan cermat. Pasti ada suatu celah yang menjadi tempat persembunyiannya. Tatapanku mengarah ke tirai jendela yang panjangnya sampai menyentuh lantai. Motif tirai itu cukup untuk menarik perhatianku. Aku yakin itu tirai yang bisa dibeli di pasar dengan harga yang sangat terjangkau.
Pito dan Tifa mendekatiku dan ikut mengamati tirai jendela itu. Keduanya juga memandangi dengan serius.
“Aku bisa membeli kain seperti ini sepanjang seratus kilometer,” ujar Pito.
“Yang memilih motif kain seperti ini seleranya buruk,” tambah Tifa.
Ternyata kami memang sepakat bahwa tirai jendela itu adalah tirai murahan dengan motif yang buruk. Aaaa ... bukan waktunya memikirkan itu. Ada apa sih denganku? Kayanya tingkah konyol mereka sudah menular padaku.
Cukup! Tinggalkan tirai jendela itu. Sekarang kembali mengamati ruangan. Aku memutar tubuh dengan tidak berhenti mengamati. Dan ... kemudian aku tersenyum. Aku berhasil menemukan di mana dia bersembunyi.
“Aku punya pertanyaan. Apa kalian bisa melihat isi ruangan bila pintunya tertutup?” tanyaku. Mereka semua menggeleng.
“Lalu bila pintu ruangan dibuka, apa kalian bisa melihat isinya?” lanjutku. Mereka mengangguk.
“Tapi ada satu tempat yang justru tidak terlihat bila kita membuka pintu ruangan ini. Kalian tahu di mana?”